A.
Anak-Anak
dengan Kecacatan Fisik
Orang-orang yang cacat
tubuhnya atau cacat fisik adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga
sebagian besar kemampuanya untuk berfungsi dimasyarakat terhambat.
Perubahanfisikanaksangat
berpengaruh terhadap proses mental dan pergaulan anak. Perubahan atau
perkembangan fisik anak yang optimal berpengaruh pada kemampuannya beradaptasi
dan berkembang terhadap lingkungan disekitarnya. Konsep diri yang baik akan
lebih mudah terbentuk dengan anugerah fisik yang baik, sementara anak-anak
dengan cacat fisik mungkin mengalami ketidakpercayaan diri yang akhirnya
berpengaruh besar pada pembentukan konsep dirinya.
B.
Anak
Yang Memiliki Gangguan Cacat Fisik
Dilihat dari aspek
fisik anak kelompok ini dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:
1.
Tuna
Netra
Anak dikatakan tuna
netra apabila mereka kehilangan daya lihatnya sedemikian rupa sehingga tidak
dapat menggunakan fasilitas pendidikan anak awas/normal pada umumnya sehingga untuk mengembangkan
potensinya diperlukan layanan pendidikan khusus. Tuna netra dibagi menjadi dua
,yaitu:
a. Kurang
awas (low vision), yaitu seseorang dikatakan kurang awas bila ia masih
memiliki sisa penglihatan sedemikian rupa sehingga masih dapat sedikit melihat
atau masih bisa membedakan gelap dan terang.
b. Buta
(blind), yaitu seseorangdikatakan buta apabila ia sudah tidak memiliki
sisa penglihatan sehingga tidak dapat membedakan gelap dan terang.
a.)
Ciri-ciri Fisik Anak Tuna Netra
1. Memiliki
daya dengar yang sangat kuat sehingga dengan cepat pesan-pesan melalui pendengaran
dapat dikirim kepusat pengertian di otak.
2. Memiliki
daya perabaan langsung dapat dikirim ke pusat pengertian di otak.
3. Kadang-kadang
mereka suka mengusap-usap mata dan berusaha membelalakkannya.
4. Kadang-kadang
mereka memiliki prilaku yang kurang sedap bila dilihat oleh orang normal pada umumnya atau dengan sebutan blindism (misalnya:
mengkerut-kerutkan kening, menggeleng-gelengkan kepala secara berulang-ulang
dengan tanpa disadarinya).
b.)
Media Pembelajaran bagi Tunanetra
Selain kekhususan metode pengajaran
yang di gunakan oleh anak tunanetra. Mereka pun mempunyai kekhususan dalam
menggunakan media pembelajaran. Karena kondisi penglihtan mereka yang tak
berfungsi, maka media yang di gunakan untuk pengajaran anak tunanetra ialah
media yang dapat dijangkau dengan pendengaran dan perabaannya. Adapun media
tersebut ialah Papan baca (Kenop), Reglette dan Stilus (pena) yaitu alat tulis
manual, Mesintik Braille (Perkins Braille) , Kaset.[1] Media Pembelajaran yang diterapkan
pada anak-anak tunanetra di beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) meliputi: alat
bantu menulis huruf Braille (Reglette, Pen dan mesin ketik Braille); alat bantu
membaca huruf Braille (Papan huruf dan Optacon); alat bantu berhitung
(Cubaritma, Abacus/Sempoa, Speech Calculator), serta alat bantu yang bersifat
audio seperti tape-recorder. Khusus Alat bantu membaca huruf Braille adalah
alat bantu pembelajaran untuk mengenal huruf Braille alat ini biasa disebut
pantule singkatan dari Papan Tulis Braille. Alat ini terdiri dari paku-paku
yang dapat ditempel pada papan sehingga membentuk kombinasi huruf Braille,
seperti laci atau kotak peti, terbuat dari papan dengan lubang-lubang tempat
memasukkan pin-pin logam. Salah satu kelemahan papan tulis Braillle ada pada
pinnya yang terlepas dari papannya, sehingga kerap hilang. Selain itu,
ukurannya yang relatif besar dan terbuat dari papan membuatnya berat untuk
dibawa-bawa.[2]
c.)
Macam-Macam Metode Pengajaran yang Dapat diikuti oleh
Tunanetra
Metode-metode pengajaran yang
diterapkan dalam proses belajar mengajar mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu, sehingga variasi metode pengajaran bertambah.
Pada dasarnya metode yang digunakan
untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah
adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga para tunanetra mampu
mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran
ataupun perabaan.[3]
Di bawah ini, ada beberapa metode
yang dapat di laksanakan dengan menggunakan fungsi pendengaran dan perabaan,
tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode tersebut ialah:
a.
Metode Ceramah
Yang dimaksud dengan metode ceramah
ialah cara penyampaian sebuah materi pelajaran dengan cara penuturan lisan
kepada siswa atau khalayak ramai.[4]
Zuhairini dkk mendefinisikan metode
ceramah ialah suatu metode di dalam pendidikan di mana cara penyampaian
pengertian-pengertian materi kepada anak didik dengan jalan penerangan dan
penuturan secara lisan. Untuk penjelasan uraiannya, guru dapat mempergunakan
alat-alat bantu mengajar yang lain, misalnya gambar, peta, denah dan alat
peraga lainnya.[5]
Metode ceramah dapat diikuti oleh
tunanetra karena dalam pelaksanaan metode ini guru menyampaikan materi pelajaran
dengan penjelasan lisan dan siswa mendengar penyampaian materi dari guru.
b. Metode Tanya
jawab
Metode tanya jawab ialah penyampaian
pelajaran dengan cara guru mengajukan pertanyaan dan murid menjawab atau suatu
metode di dalam pendidikan di mana guru bertanya sedangkan murid menjawab
tentang materi yang ingin diperolehnya.[6]
Menurut Zakiah Daradjat metode tanya
jawab adalah salah satu teknik mengajar yang dapat membantu
kekurangan-kekurangan yang terdapat pada metode ceramah. Ini disebabkan karena
guru dapat memperoleh gambaran sejauhmana murid dapat mengerti dan dapat
mengungkapkan apa yang telah diceramahkan.[7]
Siswa tunanetra mampu mengikuti
pengajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, karena metode ini merupakan
tambahan dari metode ceramah yang menggunakan indera pendengaran.
c.
Metode Diskusi
Metode diskusi adalah salah satu
alternatif metode yang dapat dipakai oleh seorang guru di kelas dengan tujuan
dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan pendapat para siswa. Seiring dengan
itu metode diskusi berfungsi untuk merangsang murid berfikir atau mengeluarkan
pendapatnya sendiri mengenai persoalan-persolan yang kadang-kadang tidak dapat
dipecahkan oleh suatu jawaban atau suatu cara saja, tetapi memerlukan wawasan
atau ilmu pengetahuan yang mampu mencari jalan terbaik atau alternatif terbaik.[8]
Anak tunanetra dapat mengikuti
kegiatan belajar mengajar yang menggunakan metode diskusi, mereka dapat ikut
berpartisipasi dalam kegiatan diskusi itu karena dalam metode dsikusi,
kemampuan daya fikir siswa untuk memecahkan suatu persoalan lebih diutamakan. Dan
metode ini bisa diikuti tanpa menggunakan indera penglihatan
d. Metode Sorogan
Metode sorogan adalah metode
individual di mana murid mendatangi guru untuk mengkaji suatu kitab dan guru
membimbingnya secara secara langsung. Metode ini dalam sejarah pendidikan Islam
dikenal dengan sistem pendidikan ” Kuttai” sementara di dunia barat dikenal
dengan metode tutorship dan mentoring. Pada prakteknya si santri
diajari dan dibimbing bagaimana cara membacanya, menghafalnya, atau lebih jauh
lagi menerjemahkan atau menafsirkannya, semua itu dilakukan oleh guru,
sementara santri menyimak penuh perhatian dan ngesahi (mensahkan) dengan
memberi catatan pada kitabnya atau mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan
kepadanya.[9]
Metode ini dapat diikuti oleh anak
tunanetra dan inti dari metode ini adalah adanya bimbingan langsung dari
guru kepada anak didik dan seorang guru dapat mengetahui langsung sejauhmana
kemampuan anak didiknya dalam memahami suatu materi pelajaran.
e. Metode Bandongan
Metode bandongan adalah salah satu
metode pembelajaran dalam pendidikan islam dimana siswa atau santri tidak
menghadap guru atau kyai satu demi satu, tetapi semua peserta didik menghadap
guru dengan membawa buku atau kitab masing-masing kemudian guru membacakan,
menerjemahkan, menerangkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya,
sementara santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kyai
dengan memberikan catatan-catatan tertentu. Cara belajar ini paling banyak
dilakukan di pesantren-pesantren tradisional.
Metode bandongan ini bisa di
pergunakan dalam pengajaran kitab atau al-Qur’an dan inti dari metode ini adalah
guru memberikan penjelasan materi kepada anak didik tidak secara perorangan.
Metode ini merupakan kebalikan dari metode sorogan.
Tunanetra dapat mengikuti metode
ini, karena metode ini dapat diikuti dengan tanpa menggunakan indera
penglihatan.
f. Metode Drill
Metode Drill atau latihan adalah
suatu metode dalam menyampaikan pelajaran dengan menggunakan latihan secara
terus menerus sampai anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan.
Metode Drill merupakan salah satu
bentuk dari berbagai macam metode yang banyak digunakan oleh para pendidik
dalam proses belajar mengajar agar tujuan pembelajaran tercapai. Metode ini
lebih menitikberatkan kepada keterampilam siswa secara kecakapan motoris,
mental, asosiasi yang dibuat dan sebagainya.[10]
Metode Drill dapat disebut juga
dengan metode latihan atau praktek secara langsung. Anak tunanetra mampu
mengikuti metode ini jika materi yang disampaikan dan media yang digunakan
mampu mendukung mereka untuk memahami materi pelajaran.
2.
Tuna
Rungu
Seseorang dikatakan tuna rungu apabila
mereka kehilangan daya dengarnya sedemikian rupa sehingga untuk pengembangan potensinya
diperlukan pendidikan khusus. Tuna rungu dibagi dua, yaitu:
1. Tuli
(deaf)
Jika
mereka kehilangan kemampuan mendengar 70 dB
atau lebih sehingga akan mengalami kesulitan untuk dapat mengerti atau
memahami pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya, walaupun dengan menggunakan atau tidak menggunakan alat Bantu dengar.
2. Lemah
Pendengaran (a hard of hearing)
Jika
mereka kehilangan kemampuan mendengar berkisar antara 35-69 dB, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mendengar
tetapi tidak terhalang baginya untuk mengerti pembicaraan orang lain walaupun dengan menggunakan atau tidak menggunakan
alat Bantu dengar (Moores, 1987:5).
a.)
Ciri-Ciri
Fisik Anak Tuna Rungu
Anak-anak pada umumnya
berjalan agak membungkuk dan seperti sempoyongan akibat dari kerusakan alat
keseimbangan di telinga bagian tengah.
b.)
Ciri-Ciri
Mental Anak Tuna Rungu
Anak-anak pada umumnya
seperti tetapi sebenarnya dia normal (bodoh semu) akibat dari
ketidakmendengarannya sehingga kurangnya informasi yang diterima di pikiran/otak.
c.)
Ciri-Ciri
Sosial Anak Tuna Rungu
Tanda-tanda peringatan
kemungkinan tunarungu [11]:
·
Kurang perhatian
·
Perkembangan bicara
yang kurang
·
Kesulitan mengikuti
instruksi
·
Menanggapi lebih baik
pada pekerjaan tugas ketika guru tersebut cukup dekat dengan si anak atau lebih
baik pada tugas menulis daripada tugas lain yang memerlukan respons secara
lisan
·
Anak mengamati apa yang
sedang dilakukan teman lainnya sebelum mulai pekerjaannya sendiri [mencari
petunjuk]
·
Meminta temannya dan
guru untuk berbicara lebih keras
·
Menjawab tidak tepat
atau gagal untuk menjawab
·
Anak mungkin kelihatan
malu, menarik diri atau terlihat keras kepala dan tidak menurut
·
Menolak untuk
berpartisipasi dalam aktivitas lisan, tidak tertawa terhadap lelucon
·
Sering mengeluh sakit
telinga, pilek, radang tenggorokan
·
Anak-anak pada umumnya
sering menaruh curiga terhadap orang-orang yang ada disekitarnya.
d.)
Proses Pembelajaran bagi Anak Tunanetra
1. Memasukkan
anak tunarungu di sekolah akan meningkatkan kemampuan mereka dalam
berkomunikasi, khususnya dengan belajar membaca dan menulis, hal ini sering
dapat menjadi satu cara mereka berkomunikasi dengan orang lain yang tidak
mengetahui bahasa isyarat atau mengerti bicara mereka.
2. Membaca
dapat membantu anak tunarungu mengerti ide, emosi dan pengalaman orang lain.
Menulis membantu untuk berkomunikasi, berbagi pikiran dan emosi mereka.
3. Penting
juga menyediakan pendidikan untuk anak perempuan. Sering kali anak perempuan
tunarungu ditahan di rumah untuk melakukan pekerjaan rumah. Tetapi semua anak perempuan
- juga yang tunarungu - perlu belajar ketrampilan supaya mereka aman dan dapat
mengambil bagian di masyarakat. Mereka mempunyai hak untuk mengetahui hak
mereka, di dalam dan melalui pendidikan mereka dapat bekerja dan hidup berguna
dan mandiri sebagai seorang dewasa.
4. Tidak
ada kesepakatan umum mengenai apa yang terbaik untuk anak tunarungu: belajar di
sekolah umum, belajar di sekolah luar biasa belajar di sekolah asrama atau
bahkan kesepakatan apakah mereka harus belajar berbicara atau melalui bahasa
isyarat, atau berbicara dan menggunakan ejaan huruf tangan. Mereka dapat
menggunakan bahasa isyarat, gerak-gerik, gambar, bahasa bibir, bicara dan
membaca serta menulis. Sangatlah penting mempertimbangkan individu anak dan
kebutuhan mereka serta apa yang diperlukan dalam konteks di masyarakat atau
sekolah.
5. Mengajar
anak dengan dan tanpa tunarungu di kelas yang sama sering kali menjadi satu
cara masyarakat dalam mendidik anak tunarungu. Penting juga mempersiapkan yang
lainnya di sekolah seperti para guru dan murid lainnya tentang tunarungu dan
tentang bagaimana cara anak ini belajar adalah dengan melihat sebaik-baiknya.
Dengan cara ini semua orang di sekolah dapat bersiap menyambut anak-anak
tunarungu. Beberapa sekolah lokal mengajarkan bahasa isyarat kepada semua orang
dengan demikian anak tunarungu tidak ada yang tertinggal.
|
|
Contoh
huruf-huruf isyarat
|
|
3.
Tuna
Daksa
Seseorang
dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila terdapat kelainan anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga
mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh
tertentu dan untuk mengoptimalkan potensi kemampuannya diperlukan layanan
khusus. Tuna daksa ada dua kategori, yaitu:
a. Tuna
daksa orthopedic (Orthopedically handicapped), yaitu mereka yang
mengalami kelainan, kecacatan tertentu sehingga menyebabkan terganggunya
fungsi tubuh. Kelainan tersebut dapat terjadi pada bagian tulang-tulang,
otot-otot tubuh maupun pada daerah persendian, baik yang dibawa sejak lahir
maupun yang diperoleh kemudian. Contoh: anak polio.
b. Tuna
daksa syaraf (Neurologically handicapped), yaitu kelainan yang terjadi
pada anggota tubuh yang disebabkan gangguan pada urat syaraf. Salah satu
kategori penderita tunadaksa syaraf dapat dilihat pada anak cerebral pasly.
a.)
Ciri-Ciri
Fisik Anak Tuna Daksa
Anak
memiliki keterbatasan atau kekurangan dalam kesempurnaan tubuh. Misalnya
tangannya putus, kakinya lumpuh atau layu, otot atau motoriknya kurang
terkoordinasi dengan baik.
b.)
Ciri-Ciri
Mental Anak Tuna Daksa
·
Anak memiliki
kecerdasan normal bahkan ada yang sangat cerdas.
·
Depresi, kemarahan dan
rasa kecewa yang mendalam disertai dengan kedengkian dan permusuhan. Orang
tersebut begitu susah dan frustasi atas cacat yang dialami
·
Penyangkalan dan
penerimaan, atau suatu keadaan emosi yang mencerminkan suatu pergumulan yang
diakhiri dengan penyerahan. Ada saat-saat di mana individu tersebut menolak
untuk mengakui realita cacat yang telah terjadi meskipun lambat laun ia akan
menerimanya.
·
Meminta
dan menolak belas kasihan dari sesama. Ini adalah fase di mana individu
tersebut mencoba menyesuaikan diri untuk dapat hidup dengan kondisinya yang
sekarang. Ada saat-saat ia ingin tidak bergantung, ada saat-saat ia betul-betul
membutuhkan bantuan sesamanya. Keseimbangan ini
kadang-kadang sulit dicapai.
c.)
Ciri-Ciri
Sosial Anak Tuna Daksa
Anak
kelompok ini kurang memiliki akses pergaulan yang luas karena keterbatasan
aktivitas geraknya. Dan kadang-kadang anak menampakkan sikap marah-marah
(emosi) yang berlebihan tanpa sebab yang jelas. Untuk kegiatan belajar-mengajar
disekolah diperlukan alat-alat khusus penopang tubuh, misalnya kursi roda, kaki
dan tangan buatan.
C. Program-Program Bagi
Anak-Anak Cacat Fisik
Terdapat
program-program pendidikan bagi anak-anak yang mengalami kelainan fisik,
intelektual, sosial, emosional, gangguan perseptual, gangguan motorik yang biasa disebut dengan anak berkebutuhan khusus.
Bentuk layanan tersebut berupa :
1. Individual
Educational Program (IEP)
2. Developmental
Progres Report (DPR)
3. Program
pengembangan kemampuan dan melatih kemandirian
4. Pelatihan
kerja
Program
pendidikan ini dibuat dengan pendekatan individual educational program, artinya
program pendidikan bagi tiap siswa akan berbeda satu sama lain tergantung
dengan kebutuhan, kesulitan yang dihadapi serta kemampuan yang dimiliki tiap
siswa. Dengan demikian, para terapis kami dapat memberikan perhatian pada
kebutuhan siswa secara maksimal.
D.
Cara
Untuk Membantu Proses Belajar Anak-Anak dengan Kecacatan Fisik (Psikologi
Pendidikan : 2007)
1. Penderita
cacat fisik memiliki lebih banyak keterbatasan dibandingkan dengan teman-teman
sebayanya, sehingga membutuhkan bimbingan atau cara pembelajaran khusus. Mereka
dapat dilatih untuk bergaul dan menangkap informasi dilingkungan sekitar dengan
tetap menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya. Misalnya belajar
memahami kode-kode tangan atau bahasa yang bisa dilakukan anak-anak yang
mengalami cacat fisik.
2. Dengan
alat medis, seperti alat bantu dengar, kaki palsu, atau bantuan untuk mendengarkan
informasi yang ada di lingkungan sekitar anak-anak dalam keadaan cacat seperti
ini akan sangat sensitif perasaannya, ia akan merasa terasing bahkan akan
selalu diejek oleh teman-teman bermainnya, sehingga perlu adanya motivasi
semangat dan perhatian lebih agar dapat bersaing dengan anak-anak normal
lainnya.
[1] Abbas Sukardi, Wawancara,
Jakarta, 24 Agustus 2008
[2] Mashoedah,”Media Pembelajaran Huruf Braille,” dari blog.uny.ac.id/mashoedah,
30 November 2008
[3] Abbas Sukardi, Wawancara,
Jakarta, 24 Agustus 2008
[4] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), cet.1, h.136
[5] Zuhairini, Abdul Ghafur, Slamet As. Yusuf, Metodik
Khusus Pendidikan Agama, (Usaha Nasional: Surabaya,1983), cet.8. hal.83
[6] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), cet.1, h.140-141
[7] Zakiah Daradjat,dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1995),cet.1, h.307
[8]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), cet.1, h.146
[9] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), cet.1, h. 152-153
[10] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2003), cet.1, h. 156-179
[11] UNESCO (2003) “Understanding and
responding to children’s needs in inclusive classrooms” Guide for teachers]
@rungu