A.
Konsep
Dasar
Psikologi
Gestalt adalah suatu aliran psikologi yang mempelajari suatu gejala sebagai
suatu keseluruhan atau totalitas. Data-data dalam psikologi gestalt disebut
phenomena (gejala), sebab dalam suatu gejala terdapat dua unsur yakni objek dan
arti. Objek adalah sesuatu yang dapat dideskripsikan setelah objek tersebut
ditangkap oleh indra. Pada objek tersebut kiata akan memberikan arti dan
sekaligus kita mendapatkan suatu informasi dari objek tersebut.
1. Teori Medan
Teori
Gestalt ini dipandang sebagai usaha untuk mengaplikasikan field theory (teori
medan). Teori ini dapat dideskripsikan sebagai system yang saling teerkait
secara dinamis dan setiap unsur-unsurnya saling terkait satu sama lain. Teori
ini digunakan dalam berbagai level pada konsep Gestalt. Psikologi Gestalt
percaya bahwa apapun yang terjadi pada seseorang maka itu akan mempengaruhi
segala sesuatu yang ada pada diri orang tersebut. Misalnya seseorang yang
lidahnya kegigit tanpa sengaja, orang itu akan merasa perubahan dalam menjalani
kesehariannya, misalnya tidak bisa menikmati makanan pedas karena perih jika
terkena lidahnya.
2. Nature versus Nurture
Para
Behavioris memandang otak sebagai penerima pasif dari sensasi yang nantianya
akan menjadi respon. Menurut Behavioris sifat manusia ditentukan oleh segala
sesuatu yang kita alami, sedangkan otak hanya sebagai penghubung. Akan tetapi
penganut Gestalt mengatakan bahwa otak memberi peranan yang aktif. Menurut
teoritis Gestalt, otak bereaksi terhadap sensoris yang masuk kedalam otak dan
melakukan penataan serta membuat informasi itu bermakna. Ini adalah “sifat
alami” dari otak ketika sensori masuk kedalam otak.
Menurut
Gestalsian otak akan menciptakan suatu medan yang mempengaruhi informasi yang masuk
kedalam otak. Kekuatan inilah yang mengatur pengalaman sadar. Jadi apa yang
kita alami sacara sadar, itu adalah informasi sensoris yang telah dikelolah
oleh medan kekuatan dalam otak. Karena teori ini Gestaltian dipandang sebagai
nativistik. Menurut behaviorian kemampun otak itu bakan karena pengalaman. Akan
tetapi gestaltian juga menunjukkan bahwa kemampuan organisational otak bukan
merupakan warisan.
3. Hukum Pragnaz
Hukum
Pragnaz ini menunjukkan tentang berarahnya segala kejadian yaitu tentang suatu
keadaan seimbang. Keadaan yang seimbang ini mencakup sikap-sikap keturunan,
kesederhanaan, kestabilan, simetri dan sebagainya. Contohnya Ketika melihat
awan, kerapkali kita menghubungkan dengan objek yang ada dalam pikiran kita
sehingga menjadi sebuah bentuk yang mirip suatu objek nyata lainnya. Misalnya
mirip wajah. Contoh lain, Pada sebuah iklan, coba kita ingat kembali iklan pop
mie. Pertama yang kita lihat adalah isi iklan keseluruhannya, dengan menyajikan
berbagai gambaran untuk mendeskripsikan pop mie dan pada akhirnya kita tau
bahwa itu iklan pop mie dengan kemasan yang baru.
B.
Otak
Dan Pengalaman Sadar
Gestaltian menganut pandangan yang
berbeda dalam memandang problem tubuh-pikiran. Mereka mengasumsikan adanya
isomorphism (isomorfisme) antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada
di dalam otak. Stimulasi eksternal menimbulkan reaksi di otak, dan kita
merasakan atau mengalami reaksi itu saat
reaksi itu terjadi di otak. Perbedaan utama antara pendapat ini dengan pendapat
strukturalis adalah Gestaltian percaya bahwa otak aktifmengubah stimulasi
sensori. Karenanya, otak mengorganisasikan, menyederhanakan, dan memberi makna pada informasi sensoris yang
datang. Kita mengalami informasi hanya setelah ia ditransformasikan oleh otak
sesuai dengan hukum Pragnanz. Otak aktif mengisi ruang kosong, seperti sebentuk
penutupan yang kompleks. Jika benar bahwa “alam tidak menyukai kekosongan,”
maka adalah benar bahwa, menurut perspektif Gestalt, otak juga tidak menyukai
kekosongan dan akan mengisinya.
C.
Realitas
Subjektif Dan Objektif
Menurut teoritis Gestalt, yang menentukan perilaku adalah kesadaran
atau realitas subjektif dan fakta ini mengandung implikasi yang penting.
Menurut Gestaltian Pragnanz bukan bukan satu-satunya yang mengubah atau
memberikan makna pada apa yang kita alami. Hal-hal seperti kebutuhan,
nilai-nilai, keyakinan, dan sikap juga melengkapi segala yang kita alami secara
sadar. Maka dalam suatu lingkungan yang sama orang bisa menginterpretasikan
keadaan itu berbeda-beda dan tentunya dengan reaksi yang berfariasi. Dalam hal
ini Koffka membedakan antara geographical environment (realitas fisik
atau objektif) dengan behavioral environment (realitas psikologis atau
subjektif). Oleh karena itu, Koffka memahami bahwa orang bertindak karena
mengetahui lingkungan behavioralnya ketimbang lingkungan geografisnya.
Koffka memberikan contong dari legenda Jerman kuno yang menunjukkan
arti penting dari realitas subjektif dalam menentukan perilaku. Di suatu
malam yang dingin seorang lelaki dengan menunggang kuda di tengah hujan salju
tiba di sebuah penginapan. Dia tampak gembira bisa menemukan tempat berteduh
setelah ia menempuh perjalanan jauh menembus hujan salju. Pemilik rumah yang
membukakan pintu kaget melihat orang asing itu dan bertanya darimana asalnya.
Orang itu menunjuk lurus kearah jalan yang habis dilaluinya. Pemilik rumah itu
takjub dan bertanya, “ apakah kau tahu kalau engkau telah menunggang kuda
melintasi Danau Constance?” Mendengar perkataan itu si penunggang kuda itu
jatuh dari kudanya lantaran kaget dan langsung mati.
Di sini Koffka ingin menunjukkan bahwa realitas subjektif itu
menentukan perilaku. Dimana sipenunggang kuda itu merasa bahwa ia berjalan
diatas daratan, maka ia tidak takut ataupun cemas. Tapi realista objektifnya
bahwa ia berjalan diatas danau yang membeku. Jika awalnya ia tahu bahwa akan
berjaln diatas danau yang membeku, mungkin dia akan takut dan berhati-hati atau
mungkin mengambil rute lain. Contoh lainnya: gunung yang nampak dari jauh
seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya
merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan
geografis).
D.
Prinsip
Belajar Gestalt
Belajar, menurut Gestaltis adalah
fenomena kognitif. Organisme “mulai melihat” solusi setelah memikirkan problem.
Pembelajaran memikirkan semua unsur yang dibutuhkan untuk memecahkan problem
dan menempatkannya bersama (secara kognitif) dalam satu cara dan kemudian ke
cara-cara lainnya sampai problem terpecahkan. Ketika solusi muncul, organisme
mendapatkan wawasan (insight) tentang solusi problem. Problem dapat eksis hanya
dalam dua keadaan : terpecahkan atau tak terpecahkan. Tidak ada keadaan solusi
parsial di antara dua keadaan itu.
Beberapa prinsip belajar yang penting,
antara lain :
1.
Manusia bereaksi dengan
lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga
secara fisik, emosional, dan social.
2.
Belajar adalah
penyesuaian diri dengan.
3.
Manusia berkembang sebagai
keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala
aspek-aspeknya
4.
Belajar adalah
perkembangan kea rah diferensiasi yang lebih luas.
5.
Belajar hanya berhasil,
apabila tercapai kematangan untuk memperoleh insight.
6.
Tidak mungkin ada belajar
tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi member dorongan yang mengerahkan
seluruh organism.
7.
Belajar akan berhasil
kalau ada tujuan.
8.
Belajar merupakan suatu
proses bila seseorang itu aktif, bukan ibarat suatu bejana yang diisi.
E.
Periode
Prasolusi
Biasanya dibutuhkan waktu agak lebih
lama sebelum solusi yang berwawasan (insightful solution) dapat ditemukan.
Penjelasan psikologi Gestalt dalam hal ini mirip dengan konsep belajar trial
and error, namun mereka menyebut belajar trial and error ini sebagai kognitif,
bukan behavioral. Menurut mereka, organisme menguji sejumlah “hipotesis”
tentang cara paling efektif untuk memecahkan problem. Hewan memikirkan
solusi-solusi yang berbeda sampai salah satu solusi itu bisa sukses dan
kemudian dia akan bertindak secara behavioral berdasarkan solusi yang berhasil
tersebut. Ketika cara cara yang benar telah ditemukan, maka akan muncul wawasan
atau pengetahuan mendalam. Tentu saja, agar belajar mendalam ini dapat terjadi,
organisme itu harus dihadapkan pada
semua elemen problem, jika tidak, perilakunya tampaknya tidak terarah.
F.
Belajar
Berwawasan
Belajar berwawasan atau Insightful
Learning memiliki empat karakteristik yaitu: 1) transisi dari prasolusi ke
solusi terjadi secara mendadak dan komplet, 2) kinerja berdasarkan solusi yang
diperoleh secara mendalam dan bebas dari kekeliruan, 3) solusi untuk suatu
problem yang diperoleh melalui wawasan mendalam akan diingat dalam waktu yang
cukup lama, 4) prinsip yang diperoleh melalui wawasan mendalam mudah diaplikasikan
ke problem lainnya.
Dalam pembahasan ini akan di uraikan
mengenai karakteristik terakhir tentang suatu prinsip pemecahan masalah dalam
satu situasi yang diaplikasikan ke problem lain yang dinamakan transposisi.
Karya awal Kohler mengenai transposisi dilakukan dengan ayam dan monyet.
Eksperimennya adalah dengan melatih hewan untuk mendekati satu dari dua sisi
kertas abu-abu, misalnya ayam diberi makan di bagian bayangan yang gelap dari
kertas itu tetapi tidak diberi makan dibagian yang lebih terang. Setelah
training, ketika ayam diberi pilihan, ayam akan memilih mendekati bagian yang
gelap. Setelah training awal, hewan itu diberi pilihan antara kertas gelap
seperti yang dipakai saat latihan dan kertas yang satunya lebih gelap lagi.
Gestaltian berpendapat bahwa behavioris akan memprediksi hewan itu akan
mendekati kertas yang lebih terang di situasi baru ini kerena kertas itulah
yang sudah diperkuat pada fase pertama percobaan. Tetapi, Gestaltis berpendapat
bahwa apa yang dipelajari dalam situasi ini adalah prinsip relasional yakni
menganggap bahwa hewan mempelajari prinsip mendekati objek paling gelap dari
dua buah objek dalam fase pertama eksperimen dan prinsip yang sama akan
diaplikasikan pada fase percobaan kedua. Gestaltis mempredikasi bahwa hewan itu
akan memilih objek yang lebih gelap pada fase 2, meskipun hewan tersebut telah
dikuatkan untuk memilih objek yang satunya lagi dalam fase 1. Oleh karena itu pandangan behavioris tentang belajar disebut sebagai absolute theory ( teori absolute ) dan
pandangan gestaltis tentang belajar disebut relational
theory ( teori relasional ).
G.
Pemikiran
produktif
Wertheimer mengontraskan memorisasi
tanpa berpikir mendalam dengan pemecahan problem berdasarkan prinsip Gestalt.
Pembelajar mempelajari fakta atau aturan tanpa benar-benar memahaminya. Proses
belajar ini berlangsung kaku, mudah terlupakan dan dapat diaplikasikan hanya
pada situasi terbatas. Tetapi, beajar sesuai dengan prinsip Gestalt didasarkan pada pemahaman
tentang hakikat dari problem. Belajar semacam itu berasal dari dalam diri
individu dan tidak dipaksakan orang lain, yanf mudah digeneralisasikan dan
diingat dalam jangka waktu yang lama.
Ketika seseorang bertindak berdasarkan
ingatan fakta tanpa memahaminya, seseorang dapat melakukan kesalahan bodoh
seperti seorang perawat yang bertugas malam yang membangunkan pasiennya yang
sedang tidur untuk disuruh meminum pil tidur ( Michael Wertheimer, 1980).
Wertheier percaya bahwa setiap strategi
pengajaran yang didasarkan pada asosiasionisme atau logika tidak banyak
manfaatnya dalam memperkaya pemahaman tetapi lebih banyak menghambat
pemahaman.Wertheimer menekankan bahwa belajar berdasarkan pemahaman akan lebih
dalam dan lebih dapat digeneralisasikan daripada belajar yang hanya berdasarkan
ingatan tanpa pemahaman. Jadi, blajar berdasarkan pemahaman prinsip dalam
situasi pemecahan masalah hasilnya akan lebih menyeluruh dan dipertahankan
selama periode yang lebih lama dan tidak ada penguatan eksternal dalam
eksperimen yang dilakukan, hanya penguatan dari dalam yang muncul saat
pembelajar mendapatkan pemahaman solusi problem.
H.
Jejak Memori
Koffka
adalah teoritis Gestalt yang berusaha menghubungkan masa lalu dengan masa
sekarang lewat sebuah konsep yakni memory trace (jejak memori/ingatan).
Jejak ingatan adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak
ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt
dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan sesuatu yang serupa dengan
jejak-jejak ingatan tadi. Misalkan dalam memecahkan suatu masalah, maka solusi
itu akan melekat dalam pikiran seseorang (jejak memori). Saat seseorang
diwaktu lain berada dalam suatu situasi, pemecahan masalah yang sama, akan
muncul sebuah proses yang akan “berkomunikasi” dengan jejak dari pengalaman
pemecahan masalh sebelumnya. Jejak inilah yang mempengaruhi proses yang sedang
berlangsung dan memudahkan upaya pemecahan masalah.
Perjalanan
waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu tidak dapat
melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena jejak
tersebut cenderung diperhalus dan disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang
lebih baik dalam ingatan.Contoh: seorang anak pernah dimarahi oleh ibunya
ketika ia dengan tidak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangan ibunya. Ibunya
memamarahinya hingga anak itu merasa sangat sedih. Ketika dalam keadaan sedih,
temannya mengajak dia bermain. Ia merasa kesedihannya mulai berkurang karena
disibukkan dengan bermain. Suatu ketika waktu dia beranjak dewasa, ia merasa
amat sedih karena diputusin pacarnya. Ia pun mencoba menghibur diri dengan
bermain ke tempat permainan seperti Time Zone bersama teman-temannya.Dalam
contoh diatas anak itu mendapat solusi dari proses memory trace, yakni
mengatasi kesedihan dengan menyibukkan diri dengan bermain.
I.
Jejak Individual Vs Sistem Jejak
Koffka (1963 [1935]) berusaha menghubungkan masa lalu dan masa
sekrang melalui konsep memory trace
(jejak memori). Ia mengasumsikan bahwa pengalaman saat ini akan
membangkitkan apa yang disebutnya proses memori. Ketika proses ini berhenti,
jejak dari efeknya masih tertinggal di otak. jejak ini akan mempengaruhi semua
proses serupa yang terjadi di masa depan. Semakin kuat jejak memori semakin
kuat pengaruhnya pada sebuah proses. Koffka juga mengatakan adanya prinsip
kebaruan (recency) yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan terakhir
kali oleh indiidu dalam suatu situasi nanti akan dilakukan lagi apabila situasi
itu berulang.
Berbagai jejak individual yang saling terkait disebut trace system (sistem jejak).Koffka
menyatakan bahwa kualitas keseluruhan dari keterampilan akan mendominasi jejak
individual dan karenanya menyebabkan hilangnya individualitas. Karena sisitem
jejak makin kuat, sistem itu akan berpengaruh besar terhadap setiap pengalaman
individual yang kita punya. Jadi,penekanan prinsip gestalt adalah keseluruhan
dari pengalaman dan pengingatan kembali pengalaman.
J.
Pendapat Psikologi Gestalt Mengenai Pendidikan
Gestalt berpendapat bahwa problem yang tidak selesai akan
menimbulkan ambiguitas atau ketidakseimbangan organisasional dalam pikiran
siswa dan ini adalah kondisi yang tidak diinginkan.pengertian ambiguitas dapat
dilihat sebagai teori gestalt yang sejajar dengan penguatan kaum behavioris.
Akan tetapi, reduksi ambiguitas dapat dianggap sebagai penguat intrisik,
sedangkan behavioris biasanya lebih menekankan pada penguat eksternal atau
ekstrinsik.
Brunner dan Holt menganut gagasan Gestaltian bahwa belajar adalah
memuasakan secara personal dan tidak perlu di dorong-dorong oleh penguatan
eksternal. Salah satu tekhnik pembelajaran yang menggunakan konsep gestalt
adalah dengan menggunakan tekhink ceramah ( lecture ).
K. Aplikasi / Penerapan
a.
Pengalaman tilikan (insight);
bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses
pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan
unsur-unsur yang terkait akan menunjang
pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu
unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam
kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan
alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya
memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah
pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons,
tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang
ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah
aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu
memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu,
materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi
lingkungan kehidupan peserta didik.
e. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam
situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt,
transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu
konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi
konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya
penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian
menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi
apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu
persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan
masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu
peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
L.
Kontribusi
Kontribusi penting dari gestalt adalah kritiknya pada pendekatan
molekuler atau atomistik dari behaviorisme S-R. Psikolog Gestalt mengemukakan
bahwa otak secara otomatis mengubah dan menata pengalaman, menambah kualitas
yang tidak ada dalam pengalaman inderawi. Fokusnya pada konsep transposisi dan
insightful learning menjadikan gestalt sebagai perhatian utama dari psikologi
kognitif kontemporer.
M. Kritik
Sikap aliran behavioristik dianggap terlalu dominan terhadap teori
belajar gestalt itulah mengapa gestalt tidak pernah menduduki posisi pertama
dalam teori belajar.
IJIN COPAS YA.
BalasHapusSEMOGA BLOGNYA TAMBAH BERMANFAAT DAN BERKAH. AMIN
bermanfaat sekali, terimakkasih yaa
BalasHapus