Bimbingan Konseling seolah menjadi topik yang tidak seksi
untuk dibicarakan. Padahal, kalau merujuk ke negara yang pendidikannya
maju, seperti Amerika Serikat, Singapura, bahkan Malaysia, peran guru BK
sangat diperhatikan. Beberapa minggu yang lalu seorang teman di
Malaysia bercerita betapa berkembanganya ilmu BK di negeri itu. Lalu,
kenapa di Indonesia isu tentang BK menjadi isu nomor 2, kalaupun
diangkat, bukan menjadi isu nasional tetapi daerah. Gerakan yang
terlihat malah dari daerah, bahkan dari sekolah-sekolah.
Isu BK yang tidak seksi ini mengakibatkan
sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK. Di
bawah ini saya mencoba membangi sekolah ke dalam 5 kelompok, berkaitan
dengan BK: Pertama, sekolah yang sadar betul pentingnya BK
untuk membangun karakter siswa. Kesadaran ini mendorong sekolah ini
menata sistem ke BK-an menjadi salah satu elemen penting sekolah. Untuk
membangun sistim ke BK-an ini mereka melakukan studi banding, membangun
fasilitas BK, memberikan waktu masuk kelas untuk guru BK, melibatkan
tenaga BK dalam seluruh prose perkembangan siswa, menempatkan BK sebagai
rekan guru bukan hanya sebagai pelengkap, mengirim guru-guru BK
mengikuti seminar.
Kedua, sekolah
yang sadar akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi
tidak didukung oleh materi, tenaga dan yayasan (swasta) atau pemerintah
(negeri). Keberadaan BK di sekolah ini antara ada dan tiada, hidup segan
mati tak mau. Di sekolah kategori ini semua konsep ke BK-an hanya
tinggal dalam angan-angan. Untuk membangun manajemen BK di sekolah ini
butuh tenaga ekstra. Pendekatan yang dilakukanpun harus bervariasi. Ada
pendekatan pragmatis, ada pendekatan structural.
Ketiga, Sekolah yang masih menerapkan manajemen BK jadul.
Guru BK masih dianggap sebagai polisi sekolah, hanya menangani orang
yang bermasalah. Sekolah ini cenderung tidak terbuka terhadap
perkembangan ilmu BK dan tidak melihat fungsi BK dalam pembentukan
pribadi siswa. Guru BK masih ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses
pendidikan anak, bukan sebagai rekan tenaga pengajar. Bahkan ironisnya,
yang menjadi guru BK bukan lulusan Bimbingan dan Konseling. Sekolah ini
anti perubahan.
Keempat,
sekolah yang belum memiliki manajemen BK. Penyembanya, bisa karena belum
ada tenaga, atau tidak ada yang tahu sehingga tidak ada yang memulau,
atau bisa juga karena masalah financial, atau menganggap tidak perlu.
Biasanya sekolah kategori ini terdapat di kecamatan atau sekolah anak
tidak mampu.
Kondisi ini menjadi
tantangan bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling. Mampukan Prodi BK
melihat ini menjadi peluang, menjadikan sekolah-sekolah in sebagai
laboratorium bagi mahasiswa. Salah satu gagasan yang bias dicoba Prodi
BK adalah membentuk satu uni formal menangani manajemen ke-BK-an di
sekolah-sekolah yang belum ada BKnya. Unit formal ini bias diberi nama
Unit Pendampingan Sekolah. Fungsi unit ini adalah melaklukan monitoring,
training, dan pendampingan berkelanjutan sampai BK di sekolah itu
terbentuk dan berfungsi dengan baik. Pembentukan unit ini akan memberi
arti ganda kepada Prodi BK. Di satu sisi menjadi tempat mahasiswa
berpraktek, disisi lain mengangkat citra BK. Mari kita wujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar