PENGANTAR
EKSISTENSIALISME
A.
EKSISTENSIALISME
SEBAGAI PENDEKATAN FILSAFAT
Para tokoh eksistensialisme menolak
sebutan eksistensialisme sebagai suatu sistem atau aliran di dalam filsafat.
Sebaliknya, mereka lebih suka menyebut eksistensialisme sebagai suatu sikap
atau pendekatan filosofis terhadap realitas, khususnya realitas manusia. Untuk
memahami manusia, menurut Kierkegaard, kita harus mengamati manusia dalam
kenyataan sehari-hari, mengamati manusia sebagaimana dia tampil dan menampakkan
diri sebagai fenomena, dan bukan dengan mereduksinya ke dalam
abstraksi-abstraksi. Ciri utama lain dari eksistensialisme adalah, bahwa
eksistensialisme memandang subjek dan objek atau manusia dan dunia sebagai
suatu kesatuan yang menjalin relasi dialektis.
B.
EKSISTENSIALISME
DAN FENOMENOLOGI
Sejarah eksistensialisme tidak bisa
dipisahkan dari fenomenologi. Husserl, bapak fenomenologi adalah guru
Heidegger. Fenomenologi bukan suatu sistem atau aliran filsafat, juga bukan
suatu disiplin ilmu. Brouwer menyebutkan bahwa jika melihat karya-karya
Husserl, bisa diperoleh gambaran bahwa fenomenologi itu adalah suatu pendekatan
atau cara melihat sesuatu (1983).
Hubungan erat antara eksistensialisme dan
fenomenologi tidak hanya ditandai oleh kesamaan historis, melainkan lebih dari
itu, ditandai oleh pengadopsian metode fenomenologi oleh para eksistensialis.
Sebagaimana dinyatakan oleh Misiak dan Sexton (1973), setiap eksistensialis
adalah fenomenolog, yakni menganalisis situasi keberadaan manusia melalui
pengamatan langsung atas pengalaman manusia.
KONSEP
DASAR DAN TEMA EKSISTENSIALISME
A.
KONSEP
DASAR
1.
Ada
dan non-ada
Ada
(being) dan non-ada (non-being) adalah konsep ontologis yang digunakan oleh
para eksistensialis untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan (eksistensi)
manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu
kepada kesubjekan manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri,
mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan
non-ada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada
keobjekan dari manusiaKeberadaan manusia memiliki nuansa yang tegas karena pada
dirinya terangkum ada dan non-ada sekaligus. Artinya, manusia mengalami rasa
ada (sense of being) atau menghayati keberadaan karena ia merangkum ada dan
non-ada.
2.
Ada-dalam
–dunia
Heidegger
menekankan bahwa ada-dalam-dunia adalah Seinkonne,
yang berarti manusia mampu berada. Jadi, ada-dalam-dunia menunjuk kepada
realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dalam
dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu, dan dalam
kenyataannya, manusia akan berkembang jika dia mengembangkan (membangun)
dunianya.
3.
Relasi
Aku-Kamu
Relasi Aku-Kamu (The I
Thou Relationship) untuk menggambarkan relasi antarpribadi yang sungguh-sungguh
atau sejati. Di dalam relasi Aku- Kamu, individu sadar dan menghargai partner
relasinya sebagai subyek seperti dirinya, subyek dengan dunianya sendiri, subyek
yang selalu berproses, dan subyek yang memiliki perasaan, pikiran, dan
keinginannya sendiri. Sikap individu semacam ini memungkinkan individu tersebut
memiliki kesediaan untuk memberikan empati kepada partner relasinya, yang pada
gilirannya menjadikan individu sanggup mencoba membayangkan apa dan bagaimana
dunia yang nampak dari perspektif subyaktif partner relasinya tersebut.
4.
Intensionalitas
Konsep intensionalitas yang diambil para
eksistensionalis dari Brentano dan Husserl mengemukakan bahwa kesadaran manusia
selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu.
Para eksistensialis
juga menggunakan konsep intensionalitas untuk menerangkan persepsi. Tindakan
mempersepsi menuntut adanya intensi dari individu terhadap sesuatu yang akan
dipersepsinya. Sebaliknya, jika individu tidak memiliki intensi (maksud atau
niat) kepada sesuatu, maka dia tidak akan mempersepsi sesuatu itu.
5.
Keberadaan
otentik dan keberadaan tidak otentik
Keberadaan yang tidak otentik adalah keberadaaan individu yang
mengukuhkan dirinya dengan cara atau untuk tujuan menghindarkan diri dari wujud-wujud
non-ada, yakni keniscayaan hidup yang terdiri atas kematian, keharusan memilih
dan memikul tanggung jawab, isolasi dan ketidakbermaknaan.
Sedangkan dalam keberadaan yang otentik, individu sanggup
mengukuhkan dirinya tanpa mengingkari keniscayaan hidup bahwa dirinya akan
mati, bahwa dirinya harus membuat pilihan-pilihan yang vital bagi hidupnya,
bahwa dirinya bisa mengalami isolasi dari sesama dan mengalami
ketidakbermaknaan, juga tanpa mengikat orang lain dan tidak menggantungkan diri
pada orang lain.
6.
Kesadaran
diri
Para eksistensialis percaya bahwa kesadaran dalam hal ini
kesadaran diri (self-consciousness), adalah salah satu ciri yang unik dan
mendasar pada manusia, yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dalam
pandangan eksistensial, kesadaran diri adalah kapasitas yang memungkinkan
manusia bisa hidup sebagai pribadi dalam arti kata sesungguhnya, yakni pribadi
yang utuh dan penuh. Semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka akan semakin
utuh pula pribadi orang itu.
7.
Kebebasan
dan tanggung jawab
Para eksistensialis selalu menekankan kebebasan sebagai ciri
yang esensial dari manusia, dimana kebebasan erat kaitannya dengan tanggung
jawab membuat putusan-putusan dalam rangka membentuk kehidupan atau
kebermaknaan dirinya. Bersama dengan kesadaran diri, kebebasan memungkinkan
manusia mampu melampaui rantai kekuatan-kekuatan deterministik yang ada di
dalam maupun yang ada di luar dirinya, (May, 1953; Frankl, 1984).
B.
TEMA
1. Kebersamaan, cinta, dan
pertentangan
Sein-ist-mit-sein,
keberadaan manusia adalah keberadaan bersama. Dalam pandangan para
eksistensialis, puncak kebersamaan itu adalah kebersamaan yang dijalani dalam
bentuk hubungan cinta dengan relasinya yang bercorak Aku-Kamu.
Tidak semua eksistensialis berpandangan optimis tentang cinta.
Menurut Sartre (1955), usaha untuk membangun cinta sebagai hubungan pribadi
yang sungguh-sungguh adalah usaha yang sia-sia saja, sebab, “bilamana aku
mencoba mengadakan kontak dengan orang lain, maka akan serentak aku ingin
mengobjekkan orang lain itu”. Orang lain itu pun memiliki kecenderungan yang
sama : mengobjekkan aku. Memang ada hubungan yang mengubah ‘aku’ dan ‘kamu’
menjadi ‘kita’. Tetapi ‘kita’ itu terbentuk kalau ada pihak ketiga yang
menetang dan ditentang. Jadi, dalam pandangan Sartre, inti hubungan manusia
bukanlah kerjasama, melainkan pertentangan.
2.
Kesepian
dan keterasingan
Eksistensial memandang kesepian sebagai kemungkinan manusiawi
yang selalu ada atau bisa dialami dan tidak akan pernah terhapus sama sekali.
Para eksistensialis percaya bahwa kesepian bersumber pada kekosongan jiwa, dan
kesepian itu sendiri dialami individu-individu denga berbagai bentuk perasaan
yang mengikutinya. Orang yang merasa kesepian menemukan dirinya tidak berdaya,
tidak berharga, dan kehilangan gairah hidup.
Menurut Riesman, manusia modern adalah manusia yang sepi di
dalam keramaian dan kebisingan massa, yang menandai adanya kekosongan yang kian
memuncak sejalan dengan pengalaman keterasingan yang semakin intens sebagai
konsekuensi dari sistematisasi dan otomatisasi kerja. Di dalam keterasingan,
manusia merasa asing bukan saja terhadap sesama dan pekerjaannya, tetapi juga
terhadap dirinya sendiri.
3.
Kematian
Menurut para eksistensialis kematian merupakan peristiwa yang
tidsak bisa dihindarkan atau merupaka refleksi dari keterbatasan manusia.
Kematian dipandang sebgai puncak absurditas hidup manusia, dengan kematian,
manusia yang berasal dari ketiadaan mengakhiri keberadaanyya dan kembali kepada
ketiadaan mutlak. Heidegger percaya bahwa peneriamaan yang tulus atas kematian
bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia.
TEORI
KEPRIBADIAN DAN PSIKOPATOLOGI
A.
BINSWANGER-BOSS
Binswanger dan Boss adalah dua orang psikoterapis pengembang
teori dan praktek terapi eksistensial yang disebut analisis eksistensial.
Berikut ini adalah inti teori dari kepribadian yang disusun oleh Binswanger dan
Boss.
1.
Taraf-taraf
dunia dan keberadaan.
Binswanger dan Boss mengembangkan konsep ada-dalam-dunia yang
berasal dari Heidegger dengan merinci dunia tempat manusia meng-ada ke dalam
tiga taraf dunia, yakni fisikal atau dunia biologis (Umwelt), dunia manusia
atau dunia sosial (Mitwelt), dan dunia diri sendiri (Eigenwelt). Mereka percaya
bahwa kepribadian setiap individu adalah unik dan dapat dibedakan dari caranya
meng-ada di dalam atau berelasi dengan ketiga taraf dunia itu.
Dalam dunia fisikal bisa diilustrasikan denga contoh sikap
individu terhadap laut. Individu yang satu melihat laut sebagai sumber bahaya
(karena berombak besar dan menjadi tempat ikan-ikan buas) akan bersikap negatif
terhadap laut. Sementara individu lain mempersepsi laut sebagai tempat yang
ideal untuk berolahraga air akan bersikap positif terhadap laut.
Dalam cara berelasi atau meng-ada di dalam dunia sosial juga
terdapat perbedaan individual berdasarkan adanya persepsi yang berbeda terhadap
dunia sosial itu. Individu yang satu boleh jadi dalam meng-ada di dalam dunia sosial
itu didasari oleh persepsinya bahwa orang lain adalah sesama yang bisa mengerti
dan patut dimengerti atau sesama yang bisa menghargai dan patut dihargai,
sehingga individu tersebut akan meng-ada di dalam dunia sosial dengan penuh
keterbukaan. Sementara itu individu yang mempersepsi orang lain sebagai lawan
yang bisa menilai, menghakimi atau mengobjekkan akan meng-ada di dalam dunia
sosila secara tertutup.
Selanjutnya
di dalam dunia diri sendiri, individu menjalani keberadaan sebagai subjek yang
merefleksikan, mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya sendiri. Menurut
Binswanger dan Boss, tidak semua individu mau dan mampu melaksanakan refleksi
atau evaluasi diri. Hal tersebut disebabkan kegiatan introspeksi itu sering
menyakitkan.
2.
Perkembangan
keberadaan
Tujuan ideal perkembangan manusia adalah mencapai keberadaan
yang otentik melalui realisasi kemungkinan-kemungkinan dari keberadaannya yang
ditandai dengan keterbukaan. Disamping
ditandai oleh keterbukaan, juga ditandai oleh kemampuan individu untuk menjalani
ketiga taraf keberadaannya secara terintegrasi, yakni individu tersebut
mengalami dirinya sebagai individu yang utuh dan penuh, tidak merasa dipecah
oleh tuntutan-tuntutan untuk memainkan peran yang dipaksakan oleh orang lain,
dan tidak tertangkap oleh gambaran ideal tertentu mengenai dirinya sendiri yang
menghambat keintiman denga orang lain, serta memiliki kesanggupan untuk memilih
alternatif tindakan yang terbaik secara otonom.
3.
Psikopatologi
Binswanger dan Boss
melihat psikopatologi sebagai fenomena kehidupan historis yang bersumber pada
ketidakmampuan individu menghadapi kecemasan eksistensial secara konstruktif
(kecemasan eksistensial adalah kecemasan yang ditimbulkan oleh ancaman
ketiadaan , contohnya adalah ancaman kematian), ketidakmampuan individu untuk
mengintegrasikan ketiga taraf dunianya atau ketidakmampuan individu meng-ada di
dalam tiga taraf dunia secara terintegrasi, dan penghindaran individu dari
realisasi kemungkinan-kemungkinan yang terdapat pada keberadaannya.
B. ROLLO MAY
May berusaha
mengintegrasikan psikoanalisis ke dalam eksistensialisme atau menerjemahkan
konsep-konsep Freud ke dalam kerangka pemikiran eksistensial seperti dijelaskan
berikut ini.
1.
Kekosongan,
kesepian dan kecemasan
Kekosongan adalah
kondisi individu yang tidak mengetahui lagi apa yang diinginkannya dan tidak
lagi memiliki kekuasaan terhadap apa yang terjadi dan dialaminya.
Menurut May, kesepian dialami oleh individu-individu masyarakat
modern sebagai akibat langsung dari kekosongan, keterasingan dari sesama dan
diri sendiri. Individu-individu masyarakat modern takut mengalami penolakan
orang lain dan sebaliknya memiliki hasrat yang kuat untuk diterima oleh orang
lain.
Kecemasan adalah hilangnya nilai kebersaingan individual
(individual copetitiveness) yang ditujukan kepada kemaslahatan bersama yang
digantikan oleh persaingan antarindividu yang eksploatatif, hilangnya
penghargaan atas keutuhan pribadi yang digantikan oleh pembagian pribadi
menjadi rasionalitas dan emosionalitas (berpikir dianggap bai, dan mengalami
emosi dianggap buruk), hilangnya rasa berharga, rasa bermartabat, dan rasa diri
(sense of self) dari individu.
2.
Kesadaran
diri dan perkembangannya
Kesadaran diri berkembang pada diri sejalan dengan usaha individu
untuk melepaskan diri dari keterikatannya, dan memperoleh otonomi diri. Adapun
kesadaran diri menurut May berkembang melalui empat tahap.
-
Tahap pertama adalah tahap kepolosan,
suatu tahap pada seorang bayi yang belum memiliki kesadaran diri.
-
Tahap kedua adalah tahap pemberontakan
dalam usaha membangun inner strength
yang dijalani individu pada usia dua atau tiga tahun dan pada masa remaja.
-
Tahap ketiga disebut tahap kesadaran
diri yang wajar, adalah tahap saat individu sanggup mengakui kesalahan-kesalahan
dan prasangka-prasangkanya sendiri, mampu menggunakan rasa bersalah yang timbul
dari dirinya untuk memperbaiki diri, dan sangngup membuat putusan-putusan secara
bertanggung jawab.
-
Tahap keempat adalah tahap kesadaran
diri kreatif, yakni tahap kesadaran diri yang paling tinggi, tetapi paling
sulit dan jarang yang bisa mencapainya.
3.
Mempertinggi
kesadaran diri
May menyatakan bahwa kesadaran diri itu tidak terbentuk secara
otomatis, melainkan karena adanya usaha dari individu untuk mempertinggi kesadaran
dirinya melalui penemuan kembali perasaan-perasaannya. Langkah pertama dalam
rangka menemukan perasaan-perasaan itu adalah usaha menyadari tubuh sebagai
suatu kesatuan. Langkah kedua adalah mengenal keinginan-keinginan sendiri. Langkah
ketiga adalah menemukan kembali relasi diri dengan aspek-aspek ketaksadaran.
4.
Frustasi
eksistensial dan kehampaan eksistensial
Menurut Frankl jika individu merasa bahwa hidup tidak lagi
memiliki makna maka orang tersebut mengalami kehampaan eksistensial (existential
vacuum), suatu situasi yang ditimbulkan oleh frustasi dalam memenuhi keinginan
kepada makna atau disebut frustasi eksistensial. Frankl menunjuk hilangnya
tradisi dan nilai-nilai sebagai salah satu sumber utama kemunculan frustasi
eksistensial dan kehampaan eksistensial. Kegagalan untuk menemukan makna hidup
atau frustasi eksistensial itu sering mengarah kepada kompensasi-kompensasi
dalam bentuk pelarian diri kepada alkohol atau obat bius, seks, dan judi.
5.
Neurosis
noogenik dan neurosis kolektif
Neurosis noogenik adalah bentuk neurosis yang bersumber pada
dimensi noogenik atau kondisi spiritual, yakni kehampaan eksistensial.
Disamping adanya neurosis noogenik, juga dijumpai suatu fenomena yang disebut neurosis
kolektif, dengan empat gejala yakni : Sikap pesimistis terhadap hidup, sikap
fatal terhadap hidup, konformisme dan kolektivisme, dan yang terakhir adalah
fanatisme.
C.
RONALD
LAING
Pendekatan Laing terhadap skizoprenia ini bertumpu pada
konsep-konsep eksistensialisme dan fenomenologi berikut teori relasi
interpersonal dari Harry Stack Sullivan.
1.
Pendekatan
ontologis terhadap skizoprenia
Teori ontologis tentang skizoprenia pertama kali dipublikasikan
melalui buku yang berjudul The Divided
Self (1959). Dengan teorinya itu ia membagi tentang kewarasan (sanity) dan
ketidakwarasan (insanity), dan menekankan bahwa pemahaman terhadap skizoprenia
harus dilakukan dengan melihat dunia melalui mata pasien skizopren (melihat
realitas sebagaimana realitas itu terlihat oleh mata pasien skizopren).
Individu yang
kemudian menjadi skizoprenia sejak permulaan hidupnya cenderung menderita
ketidakpastian tentang sense of self
atau rasa dirinya. Individu semacam ini oleh acuan (lingkungan) awalnya tidak
diberi kesempatan untuk mengembangkan perasaan bahwa dia mekhluk yang unik
dengan identitasnya yang mandiri.
2.
Absurditas
tentang kewarasan dan ketidakwarasan
Menurut Laing orang yang secara ontologis tidak aman mengamati
absurditas-absurditas secara serius dan mencoba mengatasinya dengan putus asa.
Sesungguhnya yang disebut tentang psikosis adalah suatu kondisi yang melibatkan
pengalaman transendental atau pengalaman spiritual, yaitu individu, karena
mengalami perubahan yang dramatis dalam mempersepsi realitas, terguncang dan
mengalami perubahan kesadaran diri.
Dalam kenyataannya, menurut Laing, lingkungan rumah sakit jiwa
yang khas sering memperburuk kondisi pasien. Laing menegaskan bahwa proses
penyembuhan alamiah (reintegrasi dir) yang ada pada pasien harus ditunjang oleh
pemahaman dan respek terapis terhadap si pasien, dan bukannya dihambat oleh treatment atau perlakuan yang tidak
manusiawi dari terapis.
TEORI
DAN PRAKTEK PSIKOTERAPI
A.
ANALISIS
EKSISTENSIAL
Sebagaimana umumnya sistem psikoterapi, analisis eksistensial
dibangaun di atas atau terdiri atas teori-teori terapeutik pokok, yakni teori
proses terapeutik, teori isi terapeutik, dan teori relasi terapeutik yang akan
dibahas pada bab ini.
1.
Teori
proses terapeutik
Karena analisis eksistensial melihat ketidakotentikan sebagai
sumber psikopatologi, maka dalam pandangan analisis eksistensial, keotentikan
merupakan jalan keluar psikopatologi itu, sekaligus merupakan tujuan ideal
terapi. Adapun proses vital untuk mencapai tujuan ideal tersebutadalah proses peningkatan
kesadaran. Disamping proses peningkatan kesadaran, analisis eksistensial
menggunakan peningkatan kemampuan memilih alternatif-alternatif tindakan yang
mengarahkan kepada kesembuhan atau perbaikan diri sebagai proses terapeutik.
a.
Peningkatan
kesadaran
Arah implisit dari analisis eksistensial adalah membiarkan
pasiennya menjadi apa saja yang diinginkannya (to be whatever he want want to
be). Pasien dihadapkan kepada dirinya-sekarang-dengan relasinya terhadap dunia
(kehidupan dan permasalahannya), dengan sedikit campur tangan terapis pada
permulaan terapi. Jika para psikoanalisis memandang transferensi sebagai
fenomena relasi yang mengacu kepada fiksasi-fiksasi naluriah, para terapis
analisis eksistensial memandang transferensi sebagai fenomena relasi yang
dihasilkan dari objektivikasi-objektivikasi pasien atas dirinya sendiri yang
menutup si pasien dari kemungkinan meng-ada secara terbuka di dalam situasi
terapi. Dalam relasi transferensi itu pasien bisa memasukkan kategori-kategori
psikologisnya ke dalam terapi.
b.
Pemilihan
Terapis analisis eksistensial akan menggunakan setiap
kesempatan untuk menjelaskan pilihan yang secara sinambung dihadapi pasien di
dalam pertemuan-pertemuan terapi. Terapis juga mendorong pasien agar mau
menggunakan proses-proses kesadarn, imajinasi-imajinasi, intelektualitas dan
penilaiannya untuk menciptakan alternatif-alternatif yang rasional, yang
mengarahkan dirinya sendiri keluar dari pola-pola keberadaan atau cara-cara
meng-ada yang tidak rasional. Terapis akan menyertai pasien sepanjang
pengambilan pilihan-pilihannya, memberi empati atas kecemasan-kecemasan atau
ketakutannya, sambil tetap menyadari bahwa jalan menuju keontetikan pada
dasarnya hanya pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab atas
pilihan-pilihan yang diambilnya.
2.
Teori
isi terapeutik
Para eksistensialis dan terapis analisis eksistensial percaya
bahwa individu bisa mengalami konflik pada ketiga taraf fungsi personalnya itu,
yang bisa menjadi akar atau sumber dari psikopatologi dan karenanya menjadi isi
terapeutik dari analisis eksistensial. Ini berarti bahwa analisis eksistensial
diarahkan kepada tujuan membantu individu menyelesaikan konflik-konflik yang
dialaminya. Tetapi bagaimanapun, nalisis eksistensial memiliki tujuan yang
lebih utama dari sekedar penyelesaian konflik itu, yakni membantu individu
mencapai keontetikannya. Dengan kata lain, analisis eksistensial membantu
pasiennya untuk menyelesaikan konflik-konflik sekaligus melangkah ke seberang
konflik-konflik itu, menuju pemenuhan diri (self-ful-fillment).
a.
Konflik-konflik
intrapersonal
Konflik-konflik yang ada di dalam diri individu atau
konflik-konflik intrapersonal, yakni konflik-konflik antara kecemasan-kecemasan
eksistensial yang inheren pada keberadaan, dengan ketidakjujuran yang digunakan
individu sebagai pertahanan melawan kecemasan-kecemasan eksistensial itu.
Karena kecemasan eksistensial itu aadalh konsekuensi alamiah dari kesadaran
atas ketiadaan, maka pertahanan yang ‘logis’ untuk melawannya adalah kebohongan
atau ketidakjujuran yang merupakan perwujudan dari ketidakontetikan, yakni
individu secara sadar berbohong kepada dirinya sendiri bahwa dia adalah manusia
sempurna yang kebal dari batas-batas kemanusiaan (tidak dapat mati, maha tahu,
maha kuasa). Selama ketidakjujuran atau kebohongan itu bersemayam dalam diri
individu, maka selama itu pula individu harus terus-menerus berpura-pura bahwa
dirinya tidak berbohong. Dalam terapi, usaha terapis mengkonfrontasikan
kebohongan pasien kepada dirinya sendiri bisa membebaskan si pasien dar
keinginanya untuk menjadi sesuatu yang tidak otentik dan patologis.
Disamping kecemasan eksistensial, ada variabel lain yang
terdapat pada taraf intrapersonal yang juga menjadi isi terapeutik dari
analisis eksistensial. Terapia analisis eksistensial mengetahui bahwa yang bisa
dilakukan oleh terapis untuk membangkitkan rasa harga diri pasiennya adalah
memberikan pandangan positif tak bersyarat atau persetujuan yang konstruktif.
Sebaliknya, terapis analisis eksistensial tidak akan bersedia memberikan
penguatan (reinforcement) jika penguatan itu menjadikan pasien tergantung
terhadap orang lain, termasuk
ketergantungan pada terapis. Rasa harga diri adalah respon alamiah yang tidak
akan bisa dimiliki kecuali melalui perjuangan menjadi dir sendiri.
b.
Konflik-konflik
interpersonal
Menurut pandangan para terapis eksistensial, cara terbaik untuk
menyelesaikan masalah ketidakmampuan individu untuk berelasi secara intim
adalah memberanikan si individu untuk masuk ke dalam relasi yang intim dengan
terapis. Jika individu atau pasien tidak lagi ‘membeku’ dalam terapi, maka dia
bisa dinilai mampu menemukan seseorang di dalam hidupnya, yang bisa diajak
berelasi secara intim. Terapis tidak memainkan peran apa-apa dalam membantu
pasiennya mengatasi masalah keintimannya. Yang dilakukan terapis semata-mata
menghadapi pasien secara otentik sebagai ‘Kamu’ (subjek). Aspek laiin yang
terdapat pada taraf interpersonal individu adalah seksualitas. Di dalam banyak
kasusu, proses objektivikasi diri menyertakan pengingkaran atau idealisme atas
seksualitas. Kemudian masalah lain adalah dalam hal komunikasi. Selalu
terdapatnya konflik di dalam komunikasi juga disebabkan oleh kemiskinan bahasa
untuk memantulkan pengalaman.
Variabel lain yang menjadi sumber masalah adalah kebencian.
Kebencian adalah cara paling tepat dan mudah untuk mengakhiri keberadaan orang
lain maupun diri sendiri. Kebencian bisa menghasilkan kecemasan pada individu
untuk mengatasinya terpaksa dia berbohong kepada dirinya sendiri dan orang lain
bahwa dia tidak pernah bisa marah. Akan tetapi, penekanan kemarahan ini bisa
mengarahkan individu kepada ketidakmampuan melakukan relasi yang intens atau
intim, sebab relasi yang intens selalu mengandung kemungkinan frustasi yang
justru dihindarinya dalam rangka menghindari kebencian. Variabel terakhir adalah hasrat untuk mengendalikan orang lain.
Mengendalikan orang lain adalah mengobjekkan orang lain itu, mengingkari
kebebasannya. Terapis analisis
eksistensial akan berusaha menyadarkan pasiennya bahwa setiap orang termasuk si
pasien memiliki hasrat untuk bebas.
c.
Konflik-konflik
individu versus lingkungan
Persoalan yang menyangkut penyesuaian individu terhadap
lingkungan adalah persoalan yang penting yang dipandang secara kritis oleh para
analisis eksistensialisme. Mereka percaya bahwa cara hidup yang didasarkan atas
penyesuaian akan sehat hanya jika masyarakat tempat individu menyesuaikan diri
adalah masyarakat yang jujur. Kekuatan-kekuatan industrialisasi dan sosialisasi
masyarakat modern semakin menjauhkan individu dari sikap otentik. Untuk
mengatasi keadaan ini individu harus sadar dan berani memikul tanggung jawab
untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi
dir sendiri adalah meng-ada bersama orang lain tanpa menjadi seperti orang
lain. Dengan kesadaran dan keberaniannya individu akan bisa melampaui
lingkungannya. Melampaui lingkungan untuk menjadi pribadi yang otentik berarti
individu mengarahkan dirinya menjadi otonom. Dengan menjadi otonom berarti
individu sanggup memutuskan mana yang benar dan mana yang salah , dia tidak
menyerahkan pengaturan hidupnya kepada orang lain melainkan pada dirinya
sendiri.
d.
Konflik
menuju pemenuhan diri
Pemenuhan diri erat kaitannya dengan pemenuhan makna, dalam hal
ini makna hidup. Yang dipersoalkan para analisis eksistensial adalah bagaimana
membantu pasien agar ia bisa menciptakan sendiri makna dari kehidupannya.
Pemenuhan diri juga tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang mengarahkan
atau membimbing tindakan-tindakan dan kehidupan pada umumnya. Menurut terapis
analisi eksistensial yang sekuler, individu sebaiknya tidak mencari standar
atau nilai-nilai, tetapi menciptakan nilai-nilai itu melalui sikap-sikap yang
diambilnya terhadap diri dan dunia dengan berbagi persoalan yang ada di
dalamnya.
3.
Teori
relasi terapeutik
Dalam analisis eksistensial, relasi antara terapis dan
pasiennya atau relasi terapeutik merupakan sumber proses-proses perubahan
sekaligus sumber isi terapeutik yang menunjang proses penyembuhan pasien dengan
mewujudkan relasi ‘Aku-Kamu’. Yang berarti pasien bersedia menanggalkan
ketidakjujuran atau mekanisme perthananya dan bersedia tampil sebagai subjek yang
terbuka. Dengan relasi yang sungguh-sungguh itu pasien akan di dorong untuk
menyadari kecemasan eksistensialnya yang ditimbulkan oleh keharusan memikul
tanggung jawab, sehingga dengan menyadari kecemasan eksistensialnya itu pasien
diharapkan akan mau dan mampu memikul tanggung jawab.
B.
LOGOTERAPI
Logoterpi dikembangkan oleh Frankl sebagai kelanjutan dari
analisis eksistensial yang telah dirintis oleh Binswanger an Boss. Logoterapi
mempersoalkan konflik-konflik yang mungkin dialami pasien pada ketiga taraf fungsi
personalnya, yakni konflik intrapersonal, konflik interpersonal, dan konflik
individu-lingkungan. Istilah ‘logoterapi’ itu sendiri mengisyaratkan apa
sesungguhnya yang dipersoalkan oleh dan yang menjadi sasaran logoterapi.
‘Logos’ yang berasal dari bahasa Yunani memiliki arti ‘makna’. Jadi logoterapi
adalah terapi untuk membantu individu menemukan makna dalam hidupnya.
Perbedaan antara logoterapi dengan analisis eksistensial itu
paling jelas dalam soal teknik terapeutik. Jika analisis eksistensial mengadopsi
teknik-teknik yang yang berasal dari psikoanalisis seperti analisis
transferensi, logoterapi memiliki taknik terapeutik yang khas yang oleh Frankl
disebut intensi paradiksikan (paradoxical extention), yang akan di bahas dalam
baba ini.
1.
Intensi
paradoksikal dan landasan teorinya.
Untuk menerangkan intensi paradoksikal, Frankl memulai dengan
membahas suatu fenomena yang disebut kecemasan antisipatori, yakni suatu bentuk
kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi (pembayangan) individu atas situasi
atau gejala yang ditakutinya. Kecemasan antisipatori ini sering dijumpai pad penderita fobia.
Frankl mencatat bahwa pola reaksi atau respons yangn umum
digunakan oleh individu-individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori itu
adalah menghindar atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan. Pola
respon lari pada individu penderita neurosis obsesif, yakni respon melawan
obsesi-obsesi. Yang dimaksud obsesi itu sendiri adalah pikiran tentang sesuatu
atau keinginan untuk melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa dan tidak masuk
akal. Pada penderita neurosis obsesif, usaha melawan obsesi-obsesi dimotivasi
oleh ketakutan bahwa obsesi-obsesinya itu akan membentuk gejala-gejala psikosis
atau akan mengarahkan dirinya kepada gangguan mental. Pola respon yang ketiga
biasa dijumpai pada penderita neurosis seksual, dimana pada penderita ini
terdapat kecenderungan secara sengaja (dalam artian memaksakan diri) untuk
mencapai kesenangan seksual.
Dari pola-pola respon tersebut Frankl menemukan dua fakta:
kesengajaan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu
kepada sesuatu yang dihindarinya, dan kesenngajaan yang memaksa untuk mencapai sesuatu
semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Kedua fakta
inilah yang menjadi landasan intensi paradoksial. Tepatnya adalah dengan
intensi paradoksikal, individu diundang untuk melakukan sesuatu yang paradoks,
yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan selalu ingin
menghindarinya.
C.
TERAPI
RADIKAL
Jika oleh sistem-sistem psikoterapi yang lainnya relasi
terapis-pasien dibatasi, maka oleh terapi radikal relasi itu diintensifkan.
Jika di dalam sistem-sistem psikoterapi konvensional penyuapan pasien oleh
terapis bersifat simbolis (terbatas pada pemberian perhatian), di dalam terapi
radikal penyuapan pasien oleh terapis itu sampai pada pengertian yang harfiah,
seperti penyuapan makanan kepada pasien.
Laing mengajukan argumen bahwa regresi pasien adalah suatu
kondisi yang terbatas dan reparatif hanya apabila terapis bisa belajar untuk
menaruh respek dan bukannya melihat dengan kekuatan dengan ketakutan terhadap
regresi pasiennya itu. Ia juga menegaskan bahwa reaksi-reaksi psikotik dan
pemburukan kondisi pasien skizoprenia lebih merupakan reaksi terhadap
lingkungan yang tidak menunjang atau lebih merupakan konsekuensi dari treatment yang buruk ketimbang merupakan
konsekuensi dari pemburukan gangguan pemikiran si pasien. Laing menyebutkan
bahwa treatment yang umum berlaku di rumah sakit jiwa
pada umumnya bersifat memaksa dan menghambat pengungkapan keadaan emosional
pasien. Treatment semacam itu membuat
para pasien lebih sakit ketimbang yang sesungguhnya mereka alami, dan
menjauhkan terapis dari kemampuan memanfaatkan kekuatan penyembuh alamiah yang
terdapat pada kondisi kesadaran regresif.
FENOMENOLOGI
A.
ANALISIS
MIMPI
Menurut Boss, mimpi itu adalah bentuk lain dari meng-ada-dalam
–dunia. Mimpi itu harus diterima secara utuh apa adanya dengan isi dan
maknanya. Dunia mimpi dan dunia terjaga atau sadar bukanlah lingkup yang
berbeda bagi keberadaan manusia. Dalam kenyataannya, menurut Boss bentuk
keberadaan atau cara meng-ada seseorang yang terlukis di dalam mimpinya sering
merupakan salinan dari caranya meng-ada dalam kehidupan sadar. Ia menandasakan
bahwa mimpi-mimpi adalah penampakan keberadaan, dan bukan penyembunyian
keberadaan. Makna eksistensial yang terkandung di dalam mimpi tidak bisa
ditemukan dengan melihat kebelakang layar mekanisme-mekanisme atau
perangkat-perangkat hipotesis, melainkan dengan menangani mimpi itu sendiri
secara langsung sebagai fenomena. Dan fenomena mimpi selalu tampil terbuka
sebagaimana adanya, seperti yang dialami oleh si pemimpi, bukan sebagai kedok penyamaran
isi psikis. (Boss,1958).
B.
STUDI
TENTANG SIKAP TERHADAP KEMATIAN
Herman Feifel, seorang tokoh psikologi eksistensial Amerika,
telah melakukan studi tentang sikap terhadap kematian.
1.
Kematian
sebagai kejadian dan sebagai objek studi
Feifel mencatat beberapa butir variabel tentang kematian
sebagai berikut :
-
Eksistensialisme melihat kematian
sebagai suatu kejadian berakhirnya keberadaan yang bisa menimbulkan kecemasan
atau ketakutan maupun keotentikan pada manusia.
-
Tingkah laku manusia tidak semata-mata
bergantung pada kejadian-kejadian di masa lampau, tetapi juga dipengaruhi oleh
orientasinya kepada kejadian-kejadian yang akan muncul di masa depan, termasuk
kematian.
-
Kematian adalah peristiwa yang amat
personal, dan dari kematian kita bisa menemukan makna dan fakta keunikan dan
individualitas diri dan hidup individu.
2.
Sikap
terhadap kematian
Feifel menyatakan bahwa pengungkapan tema kematian tidak
mengandung arti bahwa kondisi dan tingkah laku manusia bisa dijabarkan dan
sepenuhnya dimengerti hanya melalui pengungkapan tema kematian itu, tetapi
lebih berarti bahwa kematian adalah sumber yang berharga bagi pemahaman kondisi
dan tingkah laku manusia. Kematian memiliki arti yang berbeda bagi
masing-masing individu, artinya kematian itu memiliki arti yang unik atau
spesifik bagi setiap individu.