Jumat, 04 Mei 2012

TEORI EKSISTENSIALISME


PENGANTAR EKSISTENSIALISME

A.    EKSISTENSIALISME SEBAGAI PENDEKATAN FILSAFAT
      Para tokoh eksistensialisme menolak sebutan eksistensialisme sebagai suatu sistem atau aliran di dalam filsafat. Sebaliknya, mereka lebih suka menyebut eksistensialisme sebagai suatu sikap atau pendekatan filosofis terhadap realitas, khususnya realitas manusia. Untuk memahami manusia, menurut Kierkegaard, kita harus mengamati manusia dalam kenyataan sehari-hari, mengamati manusia sebagaimana dia tampil dan menampakkan diri sebagai fenomena, dan bukan dengan mereduksinya ke dalam abstraksi-abstraksi. Ciri utama lain dari eksistensialisme adalah, bahwa eksistensialisme memandang subjek dan objek atau manusia dan dunia sebagai suatu kesatuan yang menjalin relasi dialektis.
B.     EKSISTENSIALISME DAN FENOMENOLOGI
      Sejarah eksistensialisme tidak bisa dipisahkan dari fenomenologi. Husserl, bapak fenomenologi adalah guru Heidegger. Fenomenologi bukan suatu sistem atau aliran filsafat, juga bukan suatu disiplin ilmu. Brouwer menyebutkan bahwa jika melihat karya-karya Husserl, bisa diperoleh gambaran bahwa fenomenologi itu adalah suatu pendekatan atau cara melihat sesuatu (1983).
      Hubungan erat antara eksistensialisme dan fenomenologi tidak hanya ditandai oleh kesamaan historis, melainkan lebih dari itu, ditandai oleh pengadopsian metode fenomenologi oleh para eksistensialis. Sebagaimana dinyatakan oleh Misiak dan Sexton (1973), setiap eksistensialis adalah fenomenolog, yakni menganalisis situasi keberadaan manusia melalui pengamatan langsung atas pengalaman manusia.




KONSEP DASAR DAN TEMA EKSISTENSIALISME

A.    KONSEP DASAR
1.      Ada dan non-ada
Ada (being) dan non-ada (non-being) adalah konsep ontologis yang digunakan oleh para eksistensialis untuk menerangkan gejala dasar dari keberadaan (eksistensi) manusia. Ada ialah ukuran bagi keberadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada kesubjekan manusia. Dengan meng-ada, manusia hadir dan menampakkan diri, mengalami dirinya sebagai subjek yang sadar, aktif dan berproses. Sedangkan non-ada adalah ukuran bagi ketiadaan manusia, suatu dimensi yang mengacu kepada keobjekan dari manusiaKeberadaan manusia memiliki nuansa yang tegas karena pada dirinya terangkum ada dan non-ada sekaligus. Artinya, manusia mengalami rasa ada (sense of being) atau menghayati keberadaan karena ia merangkum ada dan non-ada.

2.      Ada-dalam –dunia
Heidegger menekankan bahwa ada-dalam-dunia adalah Seinkonne, yang berarti manusia mampu berada. Jadi, ada-dalam-dunia menunjuk kepada realitas dasar bahwa manusia hidup atau mengungkapkan keberadaannya di dalam dunia sambil merancang, mengolah atau membangun dunianya itu, dan dalam kenyataannya, manusia akan berkembang jika dia mengembangkan (membangun) dunianya.

3.      Relasi Aku-Kamu
Relasi Aku-Kamu (The I Thou Relationship) untuk menggambarkan relasi antarpribadi yang sungguh-sungguh atau sejati. Di dalam relasi Aku- Kamu, individu sadar dan menghargai partner relasinya sebagai subyek seperti dirinya, subyek dengan dunianya sendiri, subyek yang selalu berproses, dan subyek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri. Sikap individu semacam ini memungkinkan individu tersebut memiliki kesediaan untuk memberikan empati kepada partner relasinya, yang pada gilirannya menjadikan individu sanggup mencoba membayangkan apa dan bagaimana dunia yang nampak dari perspektif subyaktif partner relasinya tersebut.

4.      Intensionalitas
Konsep intensionalitas yang diambil para eksistensionalis dari Brentano dan Husserl mengemukakan bahwa kesadaran manusia selalu memiliki maksud atau terarah kepada sesuatu.
Para eksistensialis juga menggunakan konsep intensionalitas untuk menerangkan persepsi. Tindakan mempersepsi menuntut adanya intensi dari individu terhadap sesuatu yang akan dipersepsinya. Sebaliknya, jika individu tidak memiliki intensi (maksud atau niat) kepada sesuatu, maka dia tidak akan mempersepsi sesuatu itu.

5.      Keberadaan otentik dan keberadaan tidak otentik
      Keberadaan yang tidak otentik adalah keberadaaan individu yang mengukuhkan dirinya dengan cara atau untuk tujuan menghindarkan diri dari wujud-wujud non-ada, yakni keniscayaan hidup yang terdiri atas kematian, keharusan memilih dan memikul tanggung jawab, isolasi dan ketidakbermaknaan.
      Sedangkan dalam keberadaan yang otentik, individu sanggup mengukuhkan dirinya tanpa mengingkari keniscayaan hidup bahwa dirinya akan mati, bahwa dirinya harus membuat pilihan-pilihan yang vital bagi hidupnya, bahwa dirinya bisa mengalami isolasi dari sesama dan mengalami ketidakbermaknaan, juga tanpa mengikat orang lain dan tidak menggantungkan diri pada orang lain.

6.      Kesadaran diri
      Para eksistensialis percaya bahwa kesadaran dalam hal ini kesadaran diri (self-consciousness), adalah salah satu ciri yang unik dan mendasar pada manusia, yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dalam pandangan eksistensial, kesadaran diri adalah kapasitas yang memungkinkan manusia bisa hidup sebagai pribadi dalam arti kata sesungguhnya, yakni pribadi yang utuh dan penuh. Semakin tinggi kesadaran diri seseorang, maka akan semakin utuh pula pribadi orang itu.

7.      Kebebasan dan tanggung jawab
      Para eksistensialis selalu menekankan kebebasan sebagai ciri yang esensial dari manusia, dimana kebebasan erat kaitannya dengan tanggung jawab membuat putusan-putusan dalam rangka membentuk kehidupan atau kebermaknaan dirinya. Bersama dengan kesadaran diri, kebebasan memungkinkan manusia mampu melampaui rantai kekuatan-kekuatan deterministik yang ada di dalam maupun yang ada di luar dirinya, (May, 1953; Frankl, 1984).
B.     TEMA
1.      Kebersamaan, cinta, dan pertentangan
      Sein-ist-mit-sein, keberadaan manusia adalah keberadaan bersama. Dalam pandangan para eksistensialis, puncak kebersamaan itu adalah kebersamaan yang dijalani dalam bentuk hubungan cinta dengan relasinya yang bercorak Aku-Kamu.
      Tidak semua eksistensialis berpandangan optimis tentang cinta. Menurut Sartre (1955), usaha untuk membangun cinta sebagai hubungan pribadi yang sungguh-sungguh adalah usaha yang sia-sia saja, sebab, “bilamana aku mencoba mengadakan kontak dengan orang lain, maka akan serentak aku ingin mengobjekkan orang lain itu”. Orang lain itu pun memiliki kecenderungan yang sama : mengobjekkan aku. Memang ada hubungan yang mengubah ‘aku’ dan ‘kamu’ menjadi ‘kita’. Tetapi ‘kita’ itu terbentuk kalau ada pihak ketiga yang menetang dan ditentang. Jadi, dalam pandangan Sartre, inti hubungan manusia bukanlah kerjasama, melainkan pertentangan.

2.      Kesepian dan keterasingan
      Eksistensial memandang kesepian sebagai kemungkinan manusiawi yang selalu ada atau bisa dialami dan tidak akan pernah terhapus sama sekali. Para eksistensialis percaya bahwa kesepian bersumber pada kekosongan jiwa, dan kesepian itu sendiri dialami individu-individu denga berbagai bentuk perasaan yang mengikutinya. Orang yang merasa kesepian menemukan dirinya tidak berdaya, tidak berharga, dan kehilangan gairah hidup.
      Menurut Riesman, manusia modern adalah manusia yang sepi di dalam keramaian dan kebisingan massa, yang menandai adanya kekosongan yang kian memuncak sejalan dengan pengalaman keterasingan yang semakin intens sebagai konsekuensi dari sistematisasi dan otomatisasi kerja. Di dalam keterasingan, manusia merasa asing bukan saja terhadap sesama dan pekerjaannya, tetapi juga terhadap dirinya sendiri.

3.      Kematian
      Menurut para eksistensialis kematian merupakan peristiwa yang tidsak bisa dihindarkan atau merupaka refleksi dari keterbatasan manusia. Kematian dipandang sebgai puncak absurditas hidup manusia, dengan kematian, manusia yang berasal dari ketiadaan mengakhiri keberadaanyya dan kembali kepada ketiadaan mutlak. Heidegger percaya bahwa peneriamaan yang tulus atas kematian bisa membantu manusia untuk hidup lebih otentik dan bahagia.


TEORI KEPRIBADIAN DAN PSIKOPATOLOGI

A.    BINSWANGER-BOSS
      Binswanger dan Boss adalah dua orang psikoterapis pengembang teori dan praktek terapi eksistensial yang disebut analisis eksistensial. Berikut ini adalah inti teori dari kepribadian yang disusun oleh Binswanger dan Boss.
1.      Taraf-taraf dunia dan keberadaan.
      Binswanger dan Boss mengembangkan konsep ada-dalam-dunia yang berasal dari Heidegger dengan merinci dunia tempat manusia meng-ada ke dalam tiga taraf dunia, yakni fisikal atau dunia biologis (Umwelt), dunia manusia atau dunia sosial (Mitwelt), dan dunia diri sendiri (Eigenwelt). Mereka percaya bahwa kepribadian setiap individu adalah unik dan dapat dibedakan dari caranya meng-ada di dalam atau berelasi dengan ketiga taraf dunia itu.
      Dalam dunia fisikal bisa diilustrasikan denga contoh sikap individu terhadap laut. Individu yang satu melihat laut sebagai sumber bahaya (karena berombak besar dan menjadi tempat ikan-ikan buas) akan bersikap negatif terhadap laut. Sementara individu lain mempersepsi laut sebagai tempat yang ideal untuk berolahraga air akan bersikap positif terhadap laut.
      Dalam cara berelasi atau meng-ada di dalam dunia sosial juga terdapat perbedaan individual berdasarkan adanya persepsi yang berbeda terhadap dunia sosial itu. Individu yang satu boleh jadi dalam meng-ada di dalam dunia sosial itu didasari oleh persepsinya bahwa orang lain adalah sesama yang bisa mengerti dan patut dimengerti atau sesama yang bisa menghargai dan patut dihargai, sehingga individu tersebut akan meng-ada di dalam dunia sosial dengan penuh keterbukaan. Sementara itu individu yang mempersepsi orang lain sebagai lawan yang bisa menilai, menghakimi atau mengobjekkan akan meng-ada di dalam dunia sosila secara tertutup.
Selanjutnya di dalam dunia diri sendiri, individu menjalani keberadaan sebagai subjek yang merefleksikan, mengevaluasi, menilai atau menghakimi dirinya sendiri. Menurut Binswanger dan Boss, tidak semua individu mau dan mampu melaksanakan refleksi atau evaluasi diri. Hal tersebut disebabkan kegiatan introspeksi itu sering menyakitkan.

2.      Perkembangan keberadaan
      Tujuan ideal perkembangan manusia adalah mencapai keberadaan yang otentik melalui realisasi kemungkinan-kemungkinan dari keberadaannya yang ditandai dengan  keterbukaan. Disamping ditandai oleh keterbukaan, juga ditandai oleh kemampuan individu untuk menjalani ketiga taraf keberadaannya secara terintegrasi, yakni individu tersebut mengalami dirinya sebagai individu yang utuh dan penuh, tidak merasa dipecah oleh tuntutan-tuntutan untuk memainkan peran yang dipaksakan oleh orang lain, dan tidak tertangkap oleh gambaran ideal tertentu mengenai dirinya sendiri yang menghambat keintiman denga orang lain, serta memiliki kesanggupan untuk memilih alternatif tindakan yang terbaik secara otonom.

3.      Psikopatologi
Binswanger dan Boss melihat psikopatologi sebagai fenomena kehidupan historis yang bersumber pada ketidakmampuan individu menghadapi kecemasan eksistensial secara konstruktif (kecemasan eksistensial adalah kecemasan yang ditimbulkan oleh ancaman ketiadaan , contohnya adalah ancaman kematian), ketidakmampuan individu untuk mengintegrasikan ketiga taraf dunianya atau ketidakmampuan individu meng-ada di dalam tiga taraf dunia secara terintegrasi, dan penghindaran individu dari realisasi kemungkinan-kemungkinan yang terdapat pada keberadaannya.

B.     ROLLO MAY
May berusaha mengintegrasikan psikoanalisis ke dalam eksistensialisme atau menerjemahkan konsep-konsep Freud ke dalam kerangka pemikiran eksistensial seperti dijelaskan berikut ini.

1.      Kekosongan, kesepian dan kecemasan
Kekosongan adalah kondisi individu yang tidak mengetahui lagi apa yang diinginkannya dan tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap apa yang terjadi dan dialaminya.
      Menurut May, kesepian dialami oleh individu-individu masyarakat modern sebagai akibat langsung dari kekosongan, keterasingan dari sesama dan diri sendiri. Individu-individu masyarakat modern takut mengalami penolakan orang lain dan sebaliknya memiliki hasrat yang kuat untuk diterima oleh orang lain.
      Kecemasan adalah hilangnya nilai kebersaingan individual (individual copetitiveness) yang ditujukan kepada kemaslahatan bersama yang digantikan oleh persaingan antarindividu yang eksploatatif, hilangnya penghargaan atas keutuhan pribadi yang digantikan oleh pembagian pribadi menjadi rasionalitas dan emosionalitas (berpikir dianggap bai, dan mengalami emosi dianggap buruk), hilangnya rasa berharga, rasa bermartabat, dan rasa diri (sense of self) dari individu.
2.      Kesadaran diri dan perkembangannya
      Kesadaran diri berkembang pada diri sejalan dengan usaha individu untuk melepaskan diri dari keterikatannya, dan memperoleh otonomi diri. Adapun kesadaran diri menurut May berkembang melalui empat tahap.
-          Tahap pertama adalah tahap kepolosan, suatu tahap pada seorang bayi yang belum memiliki kesadaran diri.
-          Tahap kedua adalah tahap pemberontakan dalam usaha membangun inner strength yang dijalani individu pada usia dua atau tiga tahun dan pada masa remaja.
-          Tahap ketiga disebut tahap kesadaran diri yang wajar, adalah tahap saat individu sanggup mengakui kesalahan-kesalahan dan prasangka-prasangkanya sendiri, mampu menggunakan rasa bersalah yang timbul dari dirinya untuk memperbaiki diri, dan sangngup membuat putusan-putusan secara bertanggung jawab.
-          Tahap keempat adalah tahap kesadaran diri kreatif, yakni tahap kesadaran diri yang paling tinggi, tetapi paling sulit dan jarang yang bisa mencapainya.
3.      Mempertinggi kesadaran diri
      May menyatakan bahwa kesadaran diri itu tidak terbentuk secara otomatis, melainkan karena adanya usaha dari individu untuk mempertinggi kesadaran dirinya melalui penemuan kembali perasaan-perasaannya. Langkah pertama dalam rangka menemukan perasaan-perasaan itu adalah usaha menyadari tubuh sebagai suatu kesatuan. Langkah kedua adalah mengenal keinginan-keinginan sendiri. Langkah ketiga adalah menemukan kembali relasi diri dengan aspek-aspek ketaksadaran.

4.      Frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial
      Menurut Frankl jika individu merasa bahwa hidup tidak lagi memiliki makna maka orang tersebut mengalami kehampaan eksistensial (existential vacuum), suatu situasi yang ditimbulkan oleh frustasi dalam memenuhi keinginan kepada makna atau disebut frustasi eksistensial. Frankl menunjuk hilangnya tradisi dan nilai-nilai sebagai salah satu sumber utama kemunculan frustasi eksistensial dan kehampaan eksistensial. Kegagalan untuk menemukan makna hidup atau frustasi eksistensial itu sering mengarah kepada kompensasi-kompensasi dalam bentuk pelarian diri kepada alkohol atau obat bius, seks, dan judi.

5.      Neurosis noogenik dan neurosis kolektif
      Neurosis noogenik adalah bentuk neurosis yang bersumber pada dimensi noogenik atau kondisi spiritual, yakni kehampaan eksistensial. Disamping adanya neurosis noogenik, juga dijumpai suatu fenomena yang disebut neurosis kolektif, dengan empat gejala yakni : Sikap pesimistis terhadap hidup, sikap fatal terhadap hidup, konformisme dan kolektivisme, dan yang terakhir adalah fanatisme.

C.    RONALD LAING
      Pendekatan Laing terhadap skizoprenia ini bertumpu pada konsep-konsep eksistensialisme dan fenomenologi berikut teori relasi interpersonal dari Harry Stack Sullivan.
1.      Pendekatan ontologis terhadap skizoprenia
      Teori ontologis tentang skizoprenia pertama kali dipublikasikan melalui buku yang berjudul The Divided Self (1959). Dengan teorinya itu ia membagi tentang kewarasan (sanity) dan ketidakwarasan (insanity), dan menekankan bahwa pemahaman terhadap skizoprenia harus dilakukan dengan melihat dunia melalui mata pasien skizopren (melihat realitas sebagaimana realitas itu terlihat oleh mata pasien skizopren).
            Individu yang kemudian menjadi skizoprenia sejak permulaan hidupnya cenderung menderita ketidakpastian tentang sense of self atau rasa dirinya. Individu semacam ini oleh acuan (lingkungan) awalnya tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan perasaan bahwa dia mekhluk yang unik dengan identitasnya yang mandiri.

2.      Absurditas tentang kewarasan dan ketidakwarasan
      Menurut Laing orang yang secara ontologis tidak aman mengamati absurditas-absurditas secara serius dan mencoba mengatasinya dengan putus asa. Sesungguhnya yang disebut tentang psikosis adalah suatu kondisi yang melibatkan pengalaman transendental atau pengalaman spiritual, yaitu individu, karena mengalami perubahan yang dramatis dalam mempersepsi realitas, terguncang dan mengalami perubahan kesadaran diri.
      Dalam kenyataannya, menurut Laing, lingkungan rumah sakit jiwa yang khas sering memperburuk kondisi pasien. Laing menegaskan bahwa proses penyembuhan alamiah (reintegrasi dir) yang ada pada pasien harus ditunjang oleh pemahaman dan respek terapis terhadap si pasien, dan bukannya dihambat oleh treatment atau perlakuan yang tidak manusiawi dari terapis.

 
TEORI DAN PRAKTEK PSIKOTERAPI

A.    ANALISIS EKSISTENSIAL
      Sebagaimana umumnya sistem psikoterapi, analisis eksistensial dibangaun di atas atau terdiri atas teori-teori terapeutik pokok, yakni teori proses terapeutik, teori isi terapeutik, dan teori relasi terapeutik yang akan dibahas pada bab ini.

1.      Teori proses terapeutik
      Karena analisis eksistensial melihat ketidakotentikan sebagai sumber psikopatologi, maka dalam pandangan analisis eksistensial, keotentikan merupakan jalan keluar psikopatologi itu, sekaligus merupakan tujuan ideal terapi. Adapun proses vital untuk mencapai tujuan ideal tersebutadalah proses peningkatan kesadaran. Disamping proses peningkatan kesadaran, analisis eksistensial menggunakan peningkatan kemampuan memilih alternatif-alternatif tindakan yang mengarahkan kepada kesembuhan atau perbaikan diri sebagai proses terapeutik.
a.      Peningkatan kesadaran
      Arah implisit dari analisis eksistensial adalah membiarkan pasiennya menjadi apa saja yang diinginkannya (to be whatever he want want to be). Pasien dihadapkan kepada dirinya-sekarang-dengan relasinya terhadap dunia (kehidupan dan permasalahannya), dengan sedikit campur tangan terapis pada permulaan terapi. Jika para psikoanalisis memandang transferensi sebagai fenomena relasi yang mengacu kepada fiksasi-fiksasi naluriah, para terapis analisis eksistensial memandang transferensi sebagai fenomena relasi yang dihasilkan dari objektivikasi-objektivikasi pasien atas dirinya sendiri yang menutup si pasien dari kemungkinan meng-ada secara terbuka di dalam situasi terapi. Dalam relasi transferensi itu pasien bisa memasukkan kategori-kategori psikologisnya ke dalam terapi.

b.      Pemilihan
      Terapis analisis eksistensial akan menggunakan setiap kesempatan untuk menjelaskan pilihan yang secara sinambung dihadapi pasien di dalam pertemuan-pertemuan terapi. Terapis juga mendorong pasien agar mau menggunakan proses-proses kesadarn, imajinasi-imajinasi, intelektualitas dan penilaiannya untuk menciptakan alternatif-alternatif yang rasional, yang mengarahkan dirinya sendiri keluar dari pola-pola keberadaan atau cara-cara meng-ada yang tidak rasional. Terapis akan menyertai pasien sepanjang pengambilan pilihan-pilihannya, memberi empati atas kecemasan-kecemasan atau ketakutannya, sambil tetap menyadari bahwa jalan menuju keontetikan pada dasarnya hanya pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang diambilnya.

2.      Teori isi terapeutik
      Para eksistensialis dan terapis analisis eksistensial percaya bahwa individu bisa mengalami konflik pada ketiga taraf fungsi personalnya itu, yang bisa menjadi akar atau sumber dari psikopatologi dan karenanya menjadi isi terapeutik dari analisis eksistensial. Ini berarti bahwa analisis eksistensial diarahkan kepada tujuan membantu individu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya. Tetapi bagaimanapun, nalisis eksistensial memiliki tujuan yang lebih utama dari sekedar penyelesaian konflik itu, yakni membantu individu mencapai keontetikannya. Dengan kata lain, analisis eksistensial membantu pasiennya untuk menyelesaikan konflik-konflik sekaligus melangkah ke seberang konflik-konflik itu, menuju pemenuhan diri (self-ful-fillment).

a.      Konflik-konflik intrapersonal
      Konflik-konflik yang ada di dalam diri individu atau konflik-konflik intrapersonal, yakni konflik-konflik antara kecemasan-kecemasan eksistensial yang inheren pada keberadaan, dengan ketidakjujuran yang digunakan individu sebagai pertahanan melawan kecemasan-kecemasan eksistensial itu. Karena kecemasan eksistensial itu aadalh konsekuensi alamiah dari kesadaran atas ketiadaan, maka pertahanan yang ‘logis’ untuk melawannya adalah kebohongan atau ketidakjujuran yang merupakan perwujudan dari ketidakontetikan, yakni individu secara sadar berbohong kepada dirinya sendiri bahwa dia adalah manusia sempurna yang kebal dari batas-batas kemanusiaan (tidak dapat mati, maha tahu, maha kuasa). Selama ketidakjujuran atau kebohongan itu bersemayam dalam diri individu, maka selama itu pula individu harus terus-menerus berpura-pura bahwa dirinya tidak berbohong. Dalam terapi, usaha terapis mengkonfrontasikan kebohongan pasien kepada dirinya sendiri bisa membebaskan si pasien dar keinginanya untuk menjadi sesuatu yang tidak otentik dan patologis.
      Disamping kecemasan eksistensial, ada variabel lain yang terdapat pada taraf intrapersonal yang juga menjadi isi terapeutik dari analisis eksistensial. Terapia analisis eksistensial mengetahui bahwa yang bisa dilakukan oleh terapis untuk membangkitkan rasa harga diri pasiennya adalah memberikan pandangan positif tak bersyarat atau persetujuan yang konstruktif. Sebaliknya, terapis analisis eksistensial tidak akan bersedia memberikan penguatan (reinforcement) jika penguatan itu menjadikan pasien tergantung terhadap  orang lain, termasuk ketergantungan pada terapis. Rasa harga diri adalah respon alamiah yang tidak akan bisa dimiliki kecuali melalui perjuangan menjadi dir sendiri.

b.      Konflik-konflik interpersonal
      Menurut pandangan para terapis eksistensial, cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ketidakmampuan individu untuk berelasi secara intim adalah memberanikan si individu untuk masuk ke dalam relasi yang intim dengan terapis. Jika individu atau pasien tidak lagi ‘membeku’ dalam terapi, maka dia bisa dinilai mampu menemukan seseorang di dalam hidupnya, yang bisa diajak berelasi secara intim. Terapis tidak memainkan peran apa-apa dalam membantu pasiennya mengatasi masalah keintimannya. Yang dilakukan terapis semata-mata menghadapi pasien secara otentik sebagai ‘Kamu’ (subjek). Aspek laiin yang terdapat pada taraf interpersonal individu adalah seksualitas. Di dalam banyak kasusu, proses objektivikasi diri menyertakan pengingkaran atau idealisme atas seksualitas. Kemudian masalah lain adalah dalam hal komunikasi. Selalu terdapatnya konflik di dalam komunikasi juga disebabkan oleh kemiskinan bahasa untuk memantulkan pengalaman.
      Variabel lain yang menjadi sumber masalah adalah kebencian. Kebencian adalah cara paling tepat dan mudah untuk mengakhiri keberadaan orang lain maupun diri sendiri. Kebencian bisa menghasilkan kecemasan pada individu untuk mengatasinya terpaksa dia berbohong kepada dirinya sendiri dan orang lain bahwa dia tidak pernah bisa marah. Akan tetapi, penekanan kemarahan ini bisa mengarahkan individu kepada ketidakmampuan melakukan relasi yang intens atau intim, sebab relasi yang intens selalu mengandung kemungkinan frustasi yang justru dihindarinya dalam rangka menghindari kebencian. Variabel terakhir  adalah hasrat untuk mengendalikan orang lain. Mengendalikan orang lain adalah mengobjekkan orang lain itu, mengingkari kebebasannya.  Terapis analisis eksistensial akan berusaha menyadarkan pasiennya bahwa setiap orang termasuk si pasien memiliki hasrat untuk bebas.

c.       Konflik-konflik individu versus lingkungan
      Persoalan yang menyangkut penyesuaian individu terhadap lingkungan adalah persoalan yang penting yang dipandang secara kritis oleh para analisis eksistensialisme. Mereka percaya bahwa cara hidup yang didasarkan atas penyesuaian akan sehat hanya jika masyarakat tempat individu menyesuaikan diri adalah masyarakat yang jujur. Kekuatan-kekuatan industrialisasi dan sosialisasi masyarakat modern semakin menjauhkan individu dari sikap otentik. Untuk mengatasi keadaan ini individu harus sadar dan berani memikul tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri.  Menjadi dir sendiri adalah meng-ada bersama orang lain tanpa menjadi seperti orang lain. Dengan kesadaran dan keberaniannya individu akan bisa melampaui lingkungannya. Melampaui lingkungan untuk menjadi pribadi yang otentik berarti individu mengarahkan dirinya menjadi otonom. Dengan menjadi otonom berarti individu sanggup memutuskan mana yang benar dan mana yang salah , dia tidak menyerahkan pengaturan hidupnya kepada orang lain melainkan pada dirinya sendiri.

d.      Konflik menuju pemenuhan diri
      Pemenuhan diri erat kaitannya dengan pemenuhan makna, dalam hal ini makna hidup. Yang dipersoalkan para analisis eksistensial adalah bagaimana membantu pasien agar ia bisa menciptakan sendiri makna dari kehidupannya. Pemenuhan diri juga tidak terlepas dari adanya nilai-nilai yang mengarahkan atau membimbing tindakan-tindakan dan kehidupan pada umumnya. Menurut terapis analisi eksistensial yang sekuler, individu sebaiknya tidak mencari standar atau nilai-nilai, tetapi menciptakan nilai-nilai itu melalui sikap-sikap yang diambilnya terhadap diri dan dunia dengan berbagi persoalan yang ada di dalamnya.

3.      Teori relasi terapeutik
      Dalam analisis eksistensial, relasi antara terapis dan pasiennya atau relasi terapeutik merupakan sumber proses-proses perubahan sekaligus sumber isi terapeutik yang menunjang proses penyembuhan pasien dengan mewujudkan relasi ‘Aku-Kamu’. Yang berarti pasien bersedia menanggalkan ketidakjujuran atau mekanisme perthananya dan bersedia tampil sebagai subjek yang terbuka. Dengan relasi yang sungguh-sungguh itu pasien akan di dorong untuk menyadari kecemasan eksistensialnya yang ditimbulkan oleh keharusan memikul tanggung jawab, sehingga dengan menyadari kecemasan eksistensialnya itu pasien diharapkan akan mau dan mampu memikul tanggung jawab.

B.     LOGOTERAPI
      Logoterpi dikembangkan oleh Frankl sebagai kelanjutan dari analisis eksistensial yang telah dirintis oleh Binswanger an Boss. Logoterapi mempersoalkan konflik-konflik yang mungkin dialami pasien pada ketiga taraf fungsi personalnya, yakni konflik intrapersonal, konflik interpersonal, dan konflik individu-lingkungan. Istilah ‘logoterapi’ itu sendiri mengisyaratkan apa sesungguhnya yang dipersoalkan oleh dan yang menjadi sasaran logoterapi. ‘Logos’ yang berasal dari bahasa Yunani memiliki arti ‘makna’. Jadi logoterapi adalah terapi untuk membantu individu menemukan makna dalam hidupnya.
      Perbedaan antara logoterapi dengan analisis eksistensial itu paling jelas dalam soal teknik terapeutik. Jika analisis eksistensial mengadopsi teknik-teknik yang yang berasal dari psikoanalisis seperti analisis transferensi, logoterapi memiliki taknik terapeutik yang khas yang oleh Frankl disebut intensi paradiksikan (paradoxical extention), yang akan di bahas dalam baba ini.
1.      Intensi paradoksikal dan landasan teorinya.
      Untuk menerangkan intensi paradoksikal, Frankl memulai dengan membahas suatu fenomena yang disebut kecemasan antisipatori, yakni suatu bentuk kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi (pembayangan) individu atas situasi atau gejala yang ditakutinya. Kecemasan antisipatori ini sering dijumpai  pad penderita fobia.
      Frankl mencatat bahwa pola reaksi atau respons yangn umum digunakan oleh individu-individu untuk mengatasi kecemasan antisipatori itu adalah menghindar atau lari dari situasi yang menjadi sumber kecemasan. Pola respon lari pada individu penderita neurosis obsesif, yakni respon melawan obsesi-obsesi. Yang dimaksud obsesi itu sendiri adalah pikiran tentang sesuatu atau keinginan untuk melakukan sesuatu yang sifatnya memaksa dan tidak masuk akal. Pada penderita neurosis obsesif, usaha melawan obsesi-obsesi dimotivasi oleh ketakutan bahwa obsesi-obsesinya itu akan membentuk gejala-gejala psikosis atau akan mengarahkan dirinya kepada gangguan mental. Pola respon yang ketiga biasa dijumpai pada penderita neurosis seksual, dimana pada penderita ini terdapat kecenderungan secara sengaja (dalam artian memaksakan diri) untuk mencapai kesenangan seksual.
      Dari pola-pola respon tersebut Frankl menemukan dua fakta: kesengajaan yang memaksa untuk menghindari sesuatu semakin mendekatkan individu kepada sesuatu yang dihindarinya, dan kesenngajaan yang memaksa untuk mencapai sesuatu semakin menjauhkan individu dari sesuatu yang ingin dicapainya. Kedua fakta inilah yang menjadi landasan intensi paradoksial. Tepatnya adalah dengan intensi paradoksikal, individu diundang untuk melakukan sesuatu yang paradoks, yakni mendekati sesuatu yang justru ditakutinya dan selalu ingin menghindarinya.

C.    TERAPI RADIKAL
      Jika oleh sistem-sistem psikoterapi yang lainnya relasi terapis-pasien dibatasi, maka oleh terapi radikal relasi itu diintensifkan. Jika di dalam sistem-sistem psikoterapi konvensional penyuapan pasien oleh terapis bersifat simbolis (terbatas pada pemberian perhatian), di dalam terapi radikal penyuapan pasien oleh terapis itu sampai pada pengertian yang harfiah, seperti penyuapan makanan kepada pasien.
      Laing mengajukan argumen bahwa regresi pasien adalah suatu kondisi yang terbatas dan reparatif hanya apabila terapis bisa belajar untuk menaruh respek dan bukannya melihat dengan kekuatan dengan ketakutan terhadap regresi pasiennya itu. Ia juga menegaskan bahwa reaksi-reaksi psikotik dan pemburukan kondisi pasien skizoprenia lebih merupakan reaksi terhadap lingkungan yang tidak menunjang atau lebih merupakan konsekuensi dari treatment yang buruk ketimbang merupakan konsekuensi dari pemburukan gangguan pemikiran si pasien. Laing menyebutkan bahwa treatment  yang umum berlaku di rumah sakit jiwa pada umumnya bersifat memaksa dan menghambat pengungkapan keadaan emosional pasien. Treatment semacam itu membuat para pasien lebih sakit ketimbang yang sesungguhnya mereka alami, dan menjauhkan terapis dari kemampuan memanfaatkan kekuatan penyembuh alamiah yang terdapat pada kondisi kesadaran regresif.

FENOMENOLOGI

A.    ANALISIS MIMPI
      Menurut Boss, mimpi itu adalah bentuk lain dari meng-ada-dalam –dunia. Mimpi itu harus diterima secara utuh apa adanya dengan isi dan maknanya. Dunia mimpi dan dunia terjaga atau sadar bukanlah lingkup yang berbeda bagi keberadaan manusia. Dalam kenyataannya, menurut Boss bentuk keberadaan atau cara meng-ada seseorang yang terlukis di dalam mimpinya sering merupakan salinan dari caranya meng-ada dalam kehidupan sadar. Ia menandasakan bahwa mimpi-mimpi adalah penampakan keberadaan, dan bukan penyembunyian keberadaan. Makna eksistensial yang terkandung di dalam mimpi tidak bisa ditemukan dengan melihat kebelakang layar mekanisme-mekanisme atau perangkat-perangkat hipotesis, melainkan dengan menangani mimpi itu sendiri secara langsung sebagai fenomena. Dan fenomena mimpi selalu tampil terbuka sebagaimana adanya, seperti yang dialami oleh si pemimpi, bukan sebagai kedok penyamaran isi psikis. (Boss,1958).

B.     STUDI TENTANG SIKAP TERHADAP KEMATIAN
      Herman Feifel, seorang tokoh psikologi eksistensial Amerika, telah melakukan studi tentang sikap terhadap kematian.
1.      Kematian sebagai kejadian dan sebagai objek studi
      Feifel mencatat beberapa butir variabel tentang kematian sebagai berikut :
-          Eksistensialisme melihat kematian sebagai suatu kejadian berakhirnya keberadaan yang bisa menimbulkan kecemasan atau ketakutan maupun keotentikan pada manusia.
-          Tingkah laku manusia tidak semata-mata bergantung pada kejadian-kejadian di masa lampau, tetapi juga dipengaruhi oleh orientasinya kepada kejadian-kejadian yang akan muncul di masa depan, termasuk kematian.
-          Kematian adalah peristiwa yang amat personal, dan dari kematian kita bisa menemukan makna dan fakta keunikan dan individualitas diri dan hidup individu.
2.      Sikap terhadap kematian
      Feifel menyatakan bahwa pengungkapan tema kematian tidak mengandung arti bahwa kondisi dan tingkah laku manusia bisa dijabarkan dan sepenuhnya dimengerti hanya melalui pengungkapan tema kematian itu, tetapi lebih berarti bahwa kematian adalah sumber yang berharga bagi pemahaman kondisi dan tingkah laku manusia. Kematian memiliki arti yang berbeda bagi masing-masing individu, artinya kematian itu memiliki arti yang unik atau spesifik bagi setiap individu.